Hak pasien untuk mendapatkan informasi dan pelayanan lebih baik dari dokter dan paramedis lain tak jarang terabaikan. Merebaknya dugaan malapraktik profesi dokter ditengarai karena kurang profesionalnya dokter. Perlu adanya ketegasan regulasi soal perlindungan hak pasien.
Enam bulan sudah usia kandungan Estiana. Seperti biasanya ia pun berniat pergi ke dokter kandungan guna memeriksakan kesehatan janin yang dikandungnya. Ibu muda ini berkeputusan untuk datang ke sebuah rumah sakit di Bekasi pada Senin, 14 Agustus lalu.
Datanglah ia ke ruang kesehatan ibu dan anak pada rumah sakit tersebut. Dengan ditemani sang pujaan hati, si ibu ini diperiksalah kandungannya. Ia pun meminta untuk dilakukan USG kandungannya. Harapannya, si jabang bayi akan kelihatan pertumbuhannya. Namun, kala itu, bukannya kebahagiaan yang didapatkan, akan tetapi kepedihan hati ketika diketahuinya janin yang dikandungnya selama 6 bulan sudah meninggal.
Oleh kedua dokter yang menangani Estiana, ia tidak lekas dirujuk untuk menjalani operasi. Dua hari kemudian, ia diberi obat peluruh untuk mengeluarkan sang janin yang sudah berusia 6 bulan. Dalam hatinya, mengapa dokter itu hanya memberinya obat padahal janin janin yang dikandungnya sudah berusia 6 bulan dan begitu sulit seandainya hanya diberi obat untuk mengeluarkannya.
Keraguannya itu pun dipupusnya. Ia berfikir, dokter sudah mengetahui apa yang harus dilakukan padanya. Diminumlah obat pemberian dokter tersebut dua kali sehari selama enam hari berturut-turut.
Enam hari berlalu, jadwal kontrol pun tiba. Berangkatlah Estiana dengan sang suami ke rumah sakit itu. Dengan harapan penderitaannya segera berakhir, ia pun menemui dokter yang memberikan rekomendasinya minggu lalu. Namun, lagi-lagi Estiana harus memupuskan harapannya. Oleh sang dokter, ia dianjurkan untuk membeli alat dari kayu untuk membuka mulut rahim. Alasannya, ia belum bisa melahirkan si janin.
Estiana pun menganggukkan apa anjuran sang dokter. Setelah dipasangnya alat tadi, dia pun disuntik perangsang untuk mengeluarkan sang janin. Malang tak dapat ditolak, untung pun tak bisa diraih. Bukannya janinnya yang keluar, tetapi malah terjadi pendarahan hebat. Lantaran banyaknya darah yang keluar, Estiana pun lemah dan muntah-muntah.
Tak tahan penderitaan yang dialaminya, Estiana akhirnya diputuskan untuk dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta. Walhasil, baru di sinilah penderitaan Estiana berakhir. Janin bisa dikeluarkan. Estiana tersadar dan berfikir, mengapa sang dokter di suatu rumah sakit di Bekasi itu tidak lekas melakukan tindakan medis operasi saat mengetahui janin yang dikandungnya sudah meninggal. Padahal, secara selama ini fisiknya tidak ada permasalahan. Tak hanya itu, ia mengakui telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, yakni sudah sekitar Rp 4 juta.
Kasus Estiana sepertinya hanya sebagian kecil dari realita yang ada. Kejadian serupa yang sempat mengangkat dugaan malapraktik medik ke permukaan adalah kasus yang menimpa Augustianne Sinta Dame Marbun, istri pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Augustianne mengalami kerusakan ginjal yang diduga diakibatkan pemakaian antibiotik dosis tinggi.
Kejadian ini diekspose di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik selama Desember 2003 silam. Anne, begitu Istri Hotman Paris Hutapea disapa, divonis oleh seorang dokter spesialis kandungan agar menjalani operasi pengangkatan rahim. Sebelum dioperasi, ia pun dianjurkan untuk meminum antibiotik tiga kali sehari selama tujuh hari. Bukannya membaik, kondisi Anne dari hari ke hari malah bertambah memburuk.
Hotman pun cemas melihat kondisi istrinya ini. Ia pun membawa sang pujaan hati ke rumah sakit guna mendapat second opinion seputar penyakit istrinya. Betapa kagetnya Hotman setelah mengetahui bahwa obat antibiotik yang diminum istrinya selama ini dosisnya terlalu tinggi dan bisa menyebabkan kerusakan ginjal.
Tak menyia-nyiakan waktu, ia pun membawa Anne ke sebuah rumah sakit di Singapura. Lagi-lagi ia dibuat terkaget-kaget. Ternyata, setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit terkemuka di Singapura itu, Anne tidak perlu menjalani operasi pengangkatan rahim. Cukup dengan pengobatan sinar laser selama 10 menit, penyakit yang diderita Anne teratasi.
Dua gambaran kasus di atas hanyalah gambaran kecil kejadian di dunia medik Indonesia. Kalau boleh dikatakan, fenomena tersebut semacam gunung es dilautan. Masih banyak kejadian yang belum terekspose media. Data yang dikumpulkan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LBH Kesehatan dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia) maupun akademisi seputar dugaan malapraktik medik pun bisa dikatakan belum akurat.
Pada umumnya, data mereka tersebut berupa pengaduan terhadap dokter maupun rumah sakit yang diduga telah melakukan malapraktik medik di Kepolisian. Jumlahnya pun sudah ratusan lebih pengaduan per tahunnya. Namun, kebanyakan dari pengaduan ini berhenti di penyidikan dan berujung damai kedua belah pihak.
Namun demikian, dari data yang masuk ke Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (ID), kasus dugaan malapraktik di Jakarta per tahunnya mencapai 12 hingga 15 kasus. Sementara untuk di Jawa Tengah sekitar 12 kasus. Secara keseluruhan, data di MKEK IDI selama tahun 1997 hingga 2003, sudah masuk laporan dugaan malapraktik sebanyak 92 kasus. Dari jumlah ini, yang terbukti melanggar sebanyak 23 kasus, ditolak dan dicabut laporannya ada 28 kasus, dan yang tidak melanggar ada 40 kasus. Mengenai sanksi, menurut ketua MKEK IDI, Broto Wasito, cukup beragam dari yang ringan hingga terberat. Peringatan lisan, peringatan tertulis, hingga pencabutan izin praktik, dan dokter bersangkutan diikutkan pendidikan kedokteran. Selama ini hasil pemeriksaan MKEK IDI selanjutnya direkomendasikan ke dinas kesehatan tempat dokter tersebut berpraktik.
Setelah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) diberlakukan pada 6 Oktober 2005 (satu tahun sejak diundangkan), ada lembaga independen yang dipandang bisa mengobati derita sang pasien dalam hal kasus dugaan malapraktik medik. Lembaga itu adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Majelis ini, menurut Pasal 55 UU Praktik Kedokteran, ditujukan untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi.
Dengan adanya MKDKI, diharapkan MKEK IDI lebih berkiprah untuk membina etika kedokteran. Etika yang dimaksud adalah terkait hubungan langsung antara dokter dengan pasien. Misalnya, kalau pasien dibentak-bentak atau diperlakukan tidak sewajarnya oleh dokter itu bisa dinilai dokter telah melanggar etika kedokteran. Sementara untuk yang berkaitan dengan disiplin kedokteran, lebih dekat dengan dugaan malapraktik, semisal kesalahan prosedur maka ini menjadi wilayah kewenangan MKDKI.
Bagai Karet
Sebelum lebih jauh membahas soal mekanisme hukum dalam penyelesaian dugaan malapraktik medik, ada baiknya perlu dipahami dahulu realitas di masyarakat yang bisa sekehendak hati menerjemahkan apa itu malapraktik. Setidaknya hal ini sebagai suatu akibat dari demikian gencarnya media memberitakan dugaan malapraktik medik yang dilakukan oleh profesi dokter.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Fachmi Idris, mengemukakan, dengan begitu “membabibutanya” publikasi soal dugaan malapraktik ini ada dua akibat. Selain masyarakat menjadi lebih “berani” untuk menuntut haknya ketika dirinya dirugikan akibat penanganan medik sang dokter, juga publikasi tersebut menjadikan dokter kawatir seandainya dirinya dikriminalkan.
Kondisi tersebut sebenarnya pernah terjadi di Amerika Serikat. Di sana, kesalahan medik di rumah sakit merupakan penyebab kematian nomor 5. Pada tahun 1999, di negeri Paman Sam itu telah terjadi kesalahan medik di rumah sakit sebanyak 98.000. Negara-negara bagian di sana tercatat angka kesalahan berkisar dari 3,7% hingga 10,6% dari penyebab kematian per tahunnya.
Dengan kondisi seperti itu, di sana kasus gugatan terhadap profesi dokter pun meningkat setiap tahunnya. Kisarannya, sekitar 20% kasus dugaan malapraktik terjadi di sana. Lantaran hal inilah perusahaan asuransi menaikkan premi asuransi malapraktik hampir 100%. Kenaikan ini, menurut situs http://www.medicalmalpractise.com/, 40%-nya dipergunakan untuk membayar ganti rugi pasien seandainya sang dokter terbukti berbuat kesalahan. Perlu diketahui, asuransi malapraktik ini dipergunakan untuk melindungi dokter seandainya sewaktu-waktu ada gugatan malapraktik kepadanya.
Lantaran kenaikan premi inilah, dokter-dokter di Amerika Serikat pada turun ke jalan. Mereka bukannya membawa jarum suntik atau alat medik lainnya, akan tetapi membentangkan spanduk yang memprotes kenaikan premi tersebut.
Andai di Indonesia sudah populer asuransi malapraktik, kemungkinan dokter-dokter di sini pun akan mengikuti rekan sejawatnya. Apalagi dengan banyaknya laporan ke Kepolisian soal dugaan terjadinya malapraktik medik. Ketakutan dan kekawatiran pun menjadi suatu hal yang manusiawi. Tentunya kita tidak bisa membayangkan andai para dokter tersebut mogok untuk tidak melakukan penangan medik. Banyak pasien akan terlantar dan tentunya masyarakat sendiri yang akan menerima dampaknya.
Pandangan tersebut juga dilontarkan, Adib Abdullah Yahya, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI). Ia mengungkapkan, tidaklah ada di benak dokter bahwa dirinya akan mencelakai pasiennya. Seandainya atas tindakan medik dokter, si pasien malah sakit atau kondisi buruk lainnya, tentunya hal tersebut bisa dimasukkan sebagai efek yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, seharusnya berbagai pihak yang berkompeten terhadap permasalahan ini memberikan penyuluhan (sosialisasi) tentang apa itu malapraktik medik dan bagaimana solusinya.
Di Indonesia hingga kini belum ada suatu ketentuan baku mengenai malapraktik medik. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan belum ada ketentuan soal malapraktik medik. Adalah hal yang “wajar” jika kata malapraktik medik bisa ditarik ulur kemanapun sesuai dengan keinginan.
Secara sederhana, malapraktik medik bisa didefinisikan sebagai tindakan dokter yang tidak melakukan sesuatu hal sementara menurut standar profesi maupun standar pelayanan harus dilakukan, atau tindakan dokter yang melakukan sesuatu hal sementara menurut standar profesi maupun standar pelayanan tidak mengaturnya. Pengertian ini dikemukakan oleh Chandra Svaras, praktisi dan pengamat kedokteran. Ia menambahkan, dari pengertian tadi barulah dijabarkan dalam standard operating prosedur (SOP) maupun standard profesi. “SOP tiap rumah sakit berbeda-beda, begitu pula dengan standar profesi tiap spesialisasi dokter juga berlainan,” tukasnya.
Pengertian lain mengenai malapraktik medik ini juga terdapat dalam Webster’s New World Dictionary of American English. Malpractice diartikan sebagai luka atau lua yang berakibat kematian (injurious) atau perlakuan yang tidak profesional (unprofessional treatment) atau kelalaian dokter terhadap pasien (culpable neglect of a patient by a physician or surgeon). Masih dalam kamus itu, malpractice diartikan juga sebagai salah dalam mengarahkan (misconduct) atau praktik tidak sebagaimana mestinya dalam setiap profesi atau jabatan (improper practice in any professional or official position).
Kemudian dalam BLACK’S LAW DICTIONARY, medical malpractice (malapraktik medik) memiliki pengertian, “kegagalan seorang dokter untuk menerapkan keahlian dan keperduliannya, yang mana dokter lain dengan spesialisasi yang sama akan berhasil menggunakan keahlian dan keperduliannya dalam kondisi yang sama (a doctor’s failure to exercise the degrees of care and skill that a physician or surgeon of the same medical speciality would use under similiar circumstandes”.
Sementara itu menurut praktisi hukum Chandra Yusuf, malapraktik merupakan suatu istilah yang berhubungan dengan “setiap kesalahan profesi dalam mengarahkan sesuatu (any professional misconduct), dan menekankan tingkat suatu keperdulian terhadap kewajiban (duty of care) atas orang yang akan menjadi terluka karenanya akan menjadi lebih besar daripada orang biasa.
Melongok Singapura
Kehatan merupakan hak asasi manusia dan setiap orang berhak atas kesehatan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintah pula untuk menjamin tersedianya lingkungan, tatanan, sarana, dan prasarana baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pemerintah jugalah yang bertanggungjawab menjamin tersedianya sumber daya kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Selain itu pemerintah bertanggung jawab menjamin masyarakat guna memperoleh akses terhadap informasi, edukasi, dan sarana pelayanan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Namun, apakah dengan demikian semua itu harus dibebankan kepada pemerintah. Guna pemberdayaan masyarakat, seyogianya pemerintah mendorong peran serta aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan. Ketentuan-ketentuan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan.
Dalam praktiknya tak jarang berbanding terbalik dengan kondisi sewajarnya. Selain apa yang diungkapkan di awal tulisan, masyarakat di negeri ini juga disuguhkan betapa sikap materialistis juga menghinggapi tempat pengobatan. Rumah sakit yang dahulu lebih mementingkan pelayanan masyarakat pun kini seolah berubah paradigmanya. Paradigma bisnis sudah menjalar ke mana-mana.
Pelayanan medik dinilai tak ubahnya sebuah hotel. Kalau pasien tidak membayar uang panjar, pelayanan yang standar pun tak bisa diperolehnya. Tak jarang di negeri ini, meski statusnya rumah sakit pemerintah (pusat maupun daerah), hal seperti itu juga diterapkan.
Mengenai kondisi tersebut, Ketua Yayasan Pengembangan Pemberdayaan Konsumen Indonesia, Marius Widjajarta mengatakan, paradigma rumah sakit yang mencari keuntungan itu harus dikikis. Kondisi rumah sakit yang meminta biaya di muka sebagai jaminan perawatan sungguh dirasa memberatkan masyarakat. Kondisi ini ditambah berlainannya SOP tiap rumah sakit menjadikan dugaan terjadinya malapraktik begitu marak.
Atas keadaan inilah Menteri Kesehatan (Menkes), Siti Fadilah Supari mengemukakan, rumah sakit merupakan koridor terdepan pemerintah dalam memberikan pelayanan ke masyarakat. Masyarakat, lanjut Menkes, harus mendapatkan pelayanan-pelayanan terbaik dari rumah sakit. Langkah menkes tersebut oleh beberapa pihak dinilai sebagai langkah maju untuk mengingatkan pengelola rumah sakit. Paling tidak, kasus terkatung-katungnya pasien yang seolah diping-pong karena dia tidak memiliki uang untuk membayar panjar diharapkan sudah tidak terdengar lagi di negeri ini.
Hal lain sebagai implikasi dari pernyataan menkes tersebut adalah, agar para dokter maupun tenaga medis lainnya tidak sekedar mencari keuntungan. Kalau sudah mencari keuntungan sebagai tujuannya, kemuliaannya pun memudar. Dokter yang hanya memberi waktu tak lebih dari lima menit untuk menangani pasien pun akan menjadi suatu yang jamak seandainya mayoritas dokter berparadigma profit oriented. Jika sudah demikian, merupakan suatu kewajaran seandainya diagnosa dokter menjadi tidak akurat.
Guna belajar dari kondisi tersebut, tak ada salahnya apa bila kita berkaca ke negeri tetangga kita Singapura. Di Negeri Singa tersebut, pasien menjadi ‘raja’. Seperti yang terjadi pada isteri pengacara Hotman Paris Hutapea, beberapa masyarakat kita yang berduit akhirnya menjatuhkan pilihannya ke Singapura sebagai tempat berobat. Pelayanan kesehatan di sana sudah diakui dunia internasional.
Singapura pun dewasa ini tengah gencar melancarkan program medical tourism dengan pangsa pasar para pasien di seluruh dunia. Selain berbagai keunggulan atas kecanggilan peralatan dan penelitiannya, di sana para dokternya dikenal begitu cerdas, teliti, cermat, dan sabar dalam menangani pasiennya. “Dokter di Singapura masih muda-muda dan begitu detail memberikan maupun menggali informasi dari pasien. Malah ketika pasien merasa cukup atas penjelasan dokter, ia malah mencoba untuk menggali informasi lain dari pasien. Kalau masih ada yang belum jelas dan hal itu diingat setelah meninggalkan rumah sakit, dokter pun tak segan untuk menerima telepon dari sang pasien,” cerita Yanti yang menjadi pelanggan pada rumah sakit terkemuka di Singapura.
Lantaran kondisi inilah, Fachmi Idris, mengharap agar rekan sejawatnya bisa menyadari bahwa informasi tersebut merupakan hak pasien. Oleh karena itu, dokter di Indonesia pun seharusnya memberikan waktu lebih guna menggali maupun memberikan informasi kepada pasien seputar penyakit yang dideritanya. Andai komunikasi ini berjalan lancar, maka diharapkan pasien yang melaporkan dugaan malapraktik medik pun bisa berkurang.
Pandangan senada juga diungkapkan Chandra Svaras. Menurutnya, solusi “pertikaian” antara dokter dengan pasien itu adalah soal komunikasi. Seandainya dokter bisa berlega hati untuk memberikan informasi lebih dan pasien pun mau mengeluarkan semua kondisi yang dirasakannya, maka malapraktik medik tidak akan ada.
Tidak Terbukti
Sementara itu, seperti yang telah kita ketahui, sebagian besar kasus-kasus dugaan malapraktik patah ditengah jalan. Apakah itu berhenti di tingkat penyidikan, ataukah tidak terbukti sewaktu di persidangan. Entah itu lantaran minimnya pengetahuan aparat penegak hukum soal tindakan medik, ataukah penyebab lainnya.
Mengenai hal ini, Fachmi Idris, Ketua IDI, menyarankan agar para aparat penegak hukum mau belajar ilmu kedokteran. Artinya, lanjut Fachmi, baik itu aparat di Kepolisian, Kejaksaan, hingga hakim harus memahami bagaimana praktik kedokteran. Dengan begitu, tidak ada kecurigaan lagi di masyarakat bahwa yang menjadi saksi ahli di penyidikan maupun di persidangan itu melindungi rekan sejawatnya. “Malahan, di Australia itu ada jaksa yang lebih mahir pengetahuannya dibanding dokter,” katanya.
Tidak terbuktinya dugaan malapraktik medik ini juga disampaikan Adib A. Yahya, Ketua PERSI. Menurutnya, sebagian besar laporan masyarakat tersebut tidak terbukti. Hal ini bukannya berarti dokter itu kebal hukum, akan tetapi batasan malapraktik yang dijeneralisir.
Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, seandainya ada dokter yang lalai dan tidak bekerja sesuai kompetensinya ia bisa dituntut secara hukum. Setidaknya hal ini bisa dicermati dari Pasal 51 undang-undang tersebut. Di sana disebutkan, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: (a) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, (b) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, (c) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, (d) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, dan (e) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Oleh karena itu, UU Praktik Kedokteran itu merupakan rambu-rambu dianggap tepat agar dokter lebih disiplin dalam menjalankan profesinya. Seperti yang diutarakan Anggota Komisi IX DPR RI, Gunawan Slamet, bahwa UU Praktik Kedokteran bisa menjawab maraknya dugaan malapraktik di Indonesia. Ia juga berpandangan, kalau ada sebagian dokter yang menganggapnya sebagai ‘momok’ itu kurang tepat. Dokter melalui undang-undang ini akan ditata ulang dan dengan itu masyarakat pun bisa memperoleh pelayanan kesehatan seperti yang diharapkan.
Namun demikian, undang-undang ini pun diakui belum memberikan aturan yang jelas mengenai malapraktik. Seperti apa yang diutarakan Chandra Yusuf, pemerintah dan DPR perlu segera menyusun sebuah undang-undang khusus malapraktik medik. Hal ini bertujuan agar memberikan batasan yang jelas dan sanksi hukum yang tepat bagi pelaku malapraktik medik. Dengan undang-undang ini, dokter pun tidak akan takut lagi dikriminalkan dan masyarakat pun akan merasa terayomi dan memperoleh kepastian hukum. (Tim PLEDOI).
Delik Pidana Umum Yang Menjerat Dokter
Pasal 304.
(s. d. u dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, sedangkan menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (KUHP 35, 306, 909, 359 dst.)
Pasal 359.
(s.d.u. dg. UU No. 1 / 1960.) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (KUHP 165, 187, 193-205, 334.)
Anotasi :
Supaya konsisten dengan yang lain, bunyi pasal ini telah diubah tanpa mengubah artinya.
Pasal 360.
(s.d. u. dg. UU No. 1 / 1960.)
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) (s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Anotasi
Supaya konsisten dengan yang lain, bunyi pasal ini telah diubah tanpa mengubah artinya.
Pasal 361.
Bila kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang bersalah untuk menjalankan pekerjaan dalam mana dilakukan kejahatan itu dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. (KUHP 10, 35, 43, 92.)
SUMBER : Majalah PLEDOI
Home »
» Menggugat Hak Pasien
Menggugat Hak Pasien
Written By REDAKTUR on 12 September 2006 | 9:51 PM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment