Random Post

.
Home » » Darurat Pengawasan Hakim

Darurat Pengawasan Hakim

Written By REDAKTUR on 12 September 2006 | 10:34 PM



Putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut fungsi pengawasan (aktif) Komisi Yudisial dinilai menimbulkan kondisi darurat pengawasan (eksternal) hakim. Harmoninasasi UU KY, UU MA, UU MK, dan UU KK dirasa mendesak. Perppu bisa menjadi salah satu pilihan.


Mendung menggelayuti langit Indonesia. Mendung terlihat semakin menebal di Wisma ITC lantai 5 Jalan Abdul Moeis Nomor 8 Jakarta. Ya, di sanalah Komisi Yudisial (KY) berkantor. Paska Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 (permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang diajukan oleh 31 Hakim Agung) pada hari Rabu 23 Agustus lalu, beberapa petinggi lembaga negara amanah dari Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 ini seakan bermimpi di siang bolong. Ruh dari komisi ini dicabut mendadak.

Putusan MK itu menyatakan, Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (5) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4) UU KY, semua itu sepanjang mengenai kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi” juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat (selengkapnya lihat boks).

Keesokan harinya, beberapa petinggi Komisi Yudisial menggelar jumpa pers untuk menyatakan permohonan maafnya kepada seluruh rakyat Indonesia mengenai apa yang telah dilakukannya dan lantaran putusan MK itu lembaganya untuk sementara belum optimal memenuhi harapan masyarakat untuk mengembalikan kehormatan dan keluhuran hakim. Wakil Ketua Komisi Yudisial, M. Thahir Saimima, yang didampingi Koordinator Bidang Pelayanan Masyarakat Zainal Arifin menyatakan, “Kami sebagai warga negara yang baik akan tunduk dan patuh kepada keputusan Mahkamah Konstitusi. Kami mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut”.

Setelah itu anggota Komisi Yudisial menggelar rapat pleno. Hasil dari rapat pleno tersebut, memutuskan untuk menutup sementara pos pengaduan masyarakat mulai tanggal 25 Agustus. Sampai pos pengaduan itu ditutup, KY telah menerima 833 laporan masyarakat. Dari jumlah ini, 286 telah diproses dan menghasilkan tujuh rekomendasi yang diberikan ke Mahkamah Agung (MA). Seperti yang telah kita ketahui, rekomendasi itu pun belum ditanggapi serius oleh MA.

Sontak, penutupan ini mengundang reaksi beragam beberapa pihak. Menurut Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin, penutupan itu sungguh disayangkan karena akan mematikan harapan masyarakat pencari keadilan. Reaksi sama dinyatakan Benny K. Harman, pengamat peradilan yang juga anggota Komisi III DPR RI.
Meski itu wewenang Komisi Yudisial, seyogianya pos pengaduan jangan ditutup. Hal ini dikarenakan pasal yang dijadikan cantolan ketentuan pengawasan masih ada, yakni Pasal 13 UU KY. Di samping itu, Pasal 22 ayat (1) huruf a hingga d juga masih ada.

Dapat diartikan, KY bisa menerima laporan pengaduan masyakat hingga memeriksanya, tapi tidak bisa membuat laporan hasil pemeriksaan yang bersifat rekomendasi dan disampaikan ke Mahkamah Agung. Sederhananya, KY hanya seperti kotak pengaduan, kemeduan menindaklanjutinya dengan penyeleksian mana yang patut ditindaklanjuti, terus memanggil pihak terkait hingga sang hakim yang dilaporkan tersebut.

Sementara itu, meski pos pengaduan telah ditutup, nampaknya masyarakat masih menaruh harapan besar bagi KY untuk bisa mengembalikan kehormatan dan keluhuran hakim. Menanggapi harapan besar masyarakat tersebut, Anggota KY Soekotjo Soeparto menjelaskan, pihaknya tidak akan mematahkan harapan masyarakat itu. Dalam suatu diskusi yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia 31 Agustus lalu, ia mengatakan bahwa hingga saat itu KY masih menerima 4 laporan pengaduan masyarakat paska penutupan pos pengaduan. Laporan itu, lanjutnya, juga akan diproses seperti laporan lainnya. “Kami tetap akan memprosesnya, karena ketentuan itu (pasal 22 ayat (1) huruf a sampai d) masih ada,” paparnya.

Terlepas dari keputusan KY untuk menutup pos pengaduan ataupun tetap menerima laporan masyarakat, namun yang jelas putusan MK itu membawa beragam implikasi hukum. Ada pihak yang menyayangkan, tapi ada juga yang menyatakan bahwa putusan MK itu sudah pas. Salah satu pihak yang menyatakan putusan itu sudah tepat adalah Rifqi S. Assegaf, Direktur Eksekutif LeIP. Menurutnya, sebagaian pertimbangan hukum dalam putusan itu baik, misalnya mengenai hakim agung merupakan obyek pengawasan KY. Kemudian, lanjutnya, pertimbangan lain yang dianggap tepat adalah KY tidak dapat merekomendasikan sanksi terhadap hakim karena putusannya semata, maupun penegasan pentingnya kerjasama MA dan KY ke depan.

Independensi
Independensi selama ini merupakan kata sakral, terutama bagi hakim. Secara teoritis, seharusnya hakim wajib menjaga independensi ini dalam menjalankan tugas yudikasinya. Guna melakukan hal tersebut, prinsip imparsialitas harus terhujam jauh di lubuh hati sang hakim.
Dengan hakim-hakim yang independen, maka peradilan yang merdeka pun bisa tercapai. Masyarakat pencari keadilan pun tidak akan kawatir lagi keadilan tercuri. Namun, semua itu seandainya semua berjalan seperti apa yang telah digariskan.

Sedikit membahas secara teoritis, independensi peradilan dan independensi hakim merupakan unsur esensial dari negara hukum (rechtsstaat atau rule of law). Dengan demikian, indepensi itu merupakan amanah dari kalaimat “Negara Indonesia adalah negara hukum” seperti yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Begitu pentingnya hal tersebut, maka seperti apa yang diungkap Montesqui, yakni soal pemisahan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi suatu hal yang penting. Artinya, antara kekuasaan yang satu jangan sampai saling merecoki alias mempengaruhi.

Karena itu, konsep independensi peradilan (dan hakim) sebagai perwujudan kekuasaan yudikatif merupakan hal fundamental yang harus diwujudkan dan dijaga. UUD 1945 (paska amandemen) juga menegaskan hal tersebut, malahan cabang-cabang kekuasaan kehakiman itu dipisahkan berdasarkan prinsip checks and balances.

Indepensi peradilan juga semakin dipertegas lagi dengan dilahirkannya UU Kekuasaan Kehakiman (UU No.4 Tahun 2004). Ditambah lagi adanya ketentuan, organisasi, administrasi dan finansial MA dan badan peradilan di bawahnya berada di bawah kekuasaan MA merupakan penegasan tidak boleh dicampurinya cabang kekuasaan yudikatif. Oleh karena itu dikatakan, independensi peradilan merupakan benteng (safeguard) dari prinsip negara hukum (rule of law). Prinsip ini berlaku universal sebagaimana tercantum dalam The Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Milan, Italia, 26 Agustus hingga 6 September 1985 dan disahkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan Nomo 40/146 tanggal 13 Desember 1985.
Dengan demikian, independensi peradilan harus dijaga dari segala tekanan, pengaruh dan campur tangan siapa pun. Prinsip ini melekat dan harus tercermin mulai proses pemeriksaan hingga pengambilan keputusan atas setiap perkara di lembaga peradilan. Terciptanya independensi ini dengan sendirinya melahirkan suatu peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.

Bagaimana realitasnya? Menurut penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) banyak hakim-hakim yang diharapkan mampu sebagai tonggak independensi, ternyata berbuat kurang terpuji. Hakim-hakim itu, putusannya ditengarai telah menunjukkan independensi mereka. Dari data ICW, putusan-putusan hakim tersebut telah dilakukan eksaminasi publik (lihat boks “Daftar Hakim yang Putusannya Dieksaminasi Publik” dan tulisan kedua “Repotnya Mengawasi Hakim”).

Namun demikian, harus diperhatikan bahwa independensi tersebut bukanlah merupakan pemberian privilege (pengistimewaan) kepada hakim, melainkan suatu hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi warga negara guna memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial). Dari sini pula diartikan, hakim wajib untuk bersikap independen dan imparsial untuk memenuhi tuntutan pencari keadilan. Sikap hakim ini bisa melahirkan kepercayaan masyarakat (prinsip akuntabilitas) terhadap lembaga peradilan.

Menipisnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dewasa ini, menurut Emerson Yuntho, Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, salah satunya disebabkan oleh sikap hakim-hakim yang tidak independen. Sikap ini terutama setelah adanya hakim-hakim yang diduga menerima suap. Terhadap mereka ini pun kita juga mengetahui bahwa mekanisme pengawasan internal telah menjatuhkan putusan terhadapnya. (lihat tulisan “Repotnya Mengawasi Hakim”).

Sementara itu, seperti yang telah disinggung di awal tulisan, 31 hakim agung tersebut menempuh permohonan judicial review terhadap UU KY dan UU KK lantaran selama ini KY mereka anggap telah memasuki ranah independensi hakim. KY dinilai telah mendasarkan rekomendasinya dari putusan yang dihasilkan oleh hakim yang dilaporkan kepadanya. Lantaran hal ini pula, KY dan MA selama ini seolah “bersitegang”.

Mengenai independensi hakim ini, Rifqi S. Assegaf pernah berujar, selama ini KY mendasarkan rekomendasinya pada putusan hakim yang dilaporkan. “Saya sudah pernah ingatkan ke KY soal ini. Saya melihat selama ini rekomendasi yang diberikan KY itu mendasarkan pada putusan hakim,” tukas Rifqi.

Anggota KY Soekotjo Soeparto menanggapi, bahwa putusan adalah merupakan salah satu entry point (pintu masuk) saja. Kalau KY, lanjutnya, tidak membaca putusan hakim bagaimana akan mengetahui perilaku hakim tersebut. Ia menegaskan, semua pemeriksaann yang dilakukan KY didasarkan pada UU KY dan peraturan yang dibuat dan dibentuk KY berdasarkan delegasi atau atribusi kekuasaan. “Jika dikatakan KY memasuki wilayah teknis yudisial peradilan dengan membaca dan mengkaji putusan hakim yang bersangkutan, itu hanyalah sebagai entry point. Sebab, secara universal telah diterima oleh masyarakat beradab bahwa kehormatan dan keluhuran martabat seorang hakim dapat dilihat dari putusan yang dibuatnya. KY bukan saja mengawasi perilaku hakim di luar pengadilan tapi juga mengawasi perilaku hakim dalam melaksanakan tugas peradilan agar tidak terjadi korupsi (judicial corruption) yang saat ini menjadi masalah nasional yang perlu diberantas,” papar Soejotjo.

Pandangan senada diunggkap Denny Indrayana, pengamat hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ketua Indonesian Court Monitoring (ICM) ini menambahkan, semangat beberapa pihak untuk melahirkan KY ini adalah untuk memberantas mafia peradilan. Guna mendukungnya maka diperlukanlah pengawas eksternal yang mampu bersikap independen dan obyektif terhadap hakim. Untuk merealisasikan tugas dan fungsinya, bisa saja KY membaca dan mengkaji putusan hakim terlapor. Nah, lanjutnya, setelah itu ditemukan adanya indikasi hakim telah tidak independen dalam memutuskan perkara dan dalam perkembangannya ditemukan adanya suap dari salah satu pihak yang berperkara, maka tentunya dari sinilah rekomendasi KY dihasilkan.

Lukman Hakim Saefuddin, Anggota Komisi III DPR RI dan Perumus UU KY dalam sebuah diskusi di Jakarta mengungkapkan, dalam sistem ketatanegaran kita hubungan antar lembaga itu bertumpu pada check and balances, saling kontrol dan saling mengimbangi. Independensi hakim jangan diartikan sebagai tidak bisanya institusi lain untuk melakukan check and balances.
Termasuk juga mengenai putusan MK yang menyatakan pengertian hakim itu tidak termasuk hakim konstitusi (Pasal 1 angka 5 UU KY). Beberapa kalangan menilai MK mengambil manfaat dari putusannya itu. Seperti diutarakan Emerson Yuntho, hakim konstitusi sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman seyogianya juga termasuk yang diawasi hakim. Tidak ada satu pun lembaga di negeri ini yang bisa bebas dan imun dari prinsip check and balances. Hal ini sebagai perwujudan prinsip akuntabilitas publik. Seandainya hanya mengandalkan pengawasan internal, dikawatirkan tidak akan optimal.

Perlu diketahui, pertimbangan MK untuk menyatakan hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang diawasi KY adalah, karena salah satu kewenangan MK adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). Karena ketentuan ini, MK tidak boleh menjadi objek pengawasan lembaga negara yang dimungkinkan menjadi para pihak di MK. Misalnya saja sengketa antara KY dan MA. Seandainya MK menjadi objek pengawasan KY, maka bisa saja ketidakindependensian terjadi. Oleh sebab itu, MK menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk objek yang diawasi.

Namun demikian, pengertian check and balances yang selama ini ada, juga dianggap tidak tepat oleh MK. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, sebagai lembaga penafsir UUD tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran “originalisme” dengan mendasarkan diri hanya kepada “original intent” perumusan UUD 1945. Lebih lanjut disebutkan, suatu kekeliruhan jika disebutkan salah satu perspektif yang digunakan dalam merumuskan ketentuan Pasal 24B dalam hubungannya dengan Pasal 24A UUD 1945 adalah prinsip check and balances, yaitu dalam rangka mengimbangi dan mengendalikan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh MA.

Kenyataan tersebut menggambarkan “original intent” perumusan suatu norma dalam UUD pun dapat didasarkan atas pengertian yang keliru tentang suatu pengertian tertentu. Masih menurut MK, kekeliruan serupa terulang kembali dalam penjelasan umum UU KY yang berbunyi, “Pasal 24B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada KY untuk mewujudkan check and balances”.

Pengawasan
Seperti diungkapkan di awal tulisan, fungsi pengawasan KY telah dicabut oleh putusan MK. Pasal 20 UU KY yang bisa dikatakan hanya copy paste dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 telah dinyatakan dengan rujukan induknya (yakni pasal 24B ayat (1) UUD 1945). Anehnya lagi, putusan MK tersebut malah tidak membatalkan pasal 13 huruf b. Padahal pada pasal ini dengan jelas disebutkan KY memiliki kewenangan : b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Mengenai hal tersebut, MK dalam putusannya menyebutkan, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dengan frasa, “dalam rangka menjada dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” harus diartikan sebagai pengawasan terhadap individu fungsionaris hakim. Dalam frasa tersebut, lanjut MK, kata yang dipergunakan adalah “dalam” bukan “untuk”. Artinya, kewenangan pengawasan yang dimiliki KY hanyalah komplementer.

Lebih lanjut disebutkan, Lingkup wewenang lain dalam rumusan Pasal 20 UU KY berbeda dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Karena, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 telah diartikan oleh Pasal 20 UU KY hanya semata-mata sebagai pengawasan terhadap perilaku, padahal “wewenang” lain KY adalah “dalam rangka menjaga dan menegakkan” yang dapat diartikan bukan hanya tindakan preventif atau korektif, melainkan juga meningkatkan pemahaman, kesadaran, kualitas, dan komitmen profesional yang bermuara pada kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim yang diharapkan. Hal ini tidak hanya timbul dari pengawasan, tetapi terutama juga dari pembinaan dan pendidikan etik profesional bagi para hakim. Dari sinilah kemitraan antara KY dan MA mutlak diperlukan tanpa mempengaruhi kemandirian masing-masing.

Oleh karena itu, harus ada kejelasan terlebih dahulu norma yang mengatur tentang pengertian dan ruang lingkup perilaku hakim, terutama yang menyangkut kaidah-kaidah materiilnya, termasuk kepastian siapa yang membuat kode etik dan perilaku dimaksud. Hal tersebut tidak diatur dalam UU KY.

Penafsiran KY yang dinilai kebablasan oleh MK ini, menurut majelis konstitusi, tercermin dari dua surat KY ke MA, yakni surat No.1284/P.KY/2006 tertanggal 8 Mei 2006 antara lain telah meminta penjelasan atas keputusan MA RI No.KMA/03/SK/2006 tentang Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa dan mengadili perkara terdakwa DL Sitorus, karena KY berpendapat pertimbangan-pertimbangan atau konsiderans keputusan yang diambil oleh Ketua MA tidak sejalan dengan diktum putusan. Surat yang kedua adalah nomor 143/P.KY/V/2006 tertanggal 17 Mei 2006 tentang Rekomendasi Penjatuhan Sanksi terhadap Majelis Hakim perkara terdakwa E.C.W Neloe. Setelah memeriksa anggota dan ketua Majelis Hakim perkara itu, karena adanya informasi Majelis Hakim memutus perkara terdakwa-terdakwa dengan putusan bebas, KY berpendapat telah terdapat perbedaan persepsi tentang bunyi UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan “dapat” menimbulkan kerugian negara/perekonomian negara yang diartikan hakim sebagai delik materiil, sehingga kerugian negara harus nyata, berapa jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum. Lantaran majelis hakim telah menghapus kata “dapat” maka dia telah memasuki ranah hukum pembuat undang-undang.

Melalui dua surat tersebut, KY dinilai oleh majelis konstitusi telah masuk ke ranah teknis yudisial dengan cara memeriksa putusan. Norma pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum sesuai dengan hukum acara.

Kemudian, seharusnyalah terlebih dahulu dirumuskan apa yang menjadi ukuran dalam menilai kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Dengan demikian, terdapat batasan yang jelas ruang lingkup tugas KY dan ini dijadikan pegangan pasti baik oleh pengawas (KY) maupun yang diawasi (hakim). Ketiadaan rumusan tersebut dikatakan MK menimbulkan kerancuan dan bahkan ketidakpastian hukum yang bisa berimplikasi melumpuhkan jalannya sistem peradilan.
Lantaran Pasal 20 dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap, maka pasal turunannya pun mengikutinya, yakni Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (5) UU KY. Di samping itu Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4) UU KY juga tak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi. Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Darurat Pengawasan
Melihat kenyataan di atas, Agun Gunanjar, Anggota DPR dan mantan Anggota Panitia Ad Hoc I MPR, menyatakan putusan yang mencabut kewenangan pengawasan tersebut bisa diartikan telah menyebabkan kekosongan pengawasan (eksternal). Dengan demikian, dirinya secepatnya akan mengusulkan agar revisi UU KY, UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU Mahkamah Konstitusi di urutan pertama pembahasan. Karena kondisinya sudah darurat.

Kegawatan pengawasan paska putusan MK itu juga disampaikan Anggota Komisi Hukum Nasional, M. Fajrul Falakh. Ia menambahkan agar secepatnya disusun undang-undang konsolidasi. Artinya, ia akan mengkonsilasikan UU KY, UU MA, UU MK, dan UU Kekuasaan Kehakiman.

Namun, lanjut Fajrul, untuk mengatasi kekosongan ini Presiden seharusnya lebih sigap dan mengambil keputusan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Perppu tersebut bisa saja mengembalikan pengawasan eksternal hakim ke KY tapi dengan berbagai teknis pelaksanaannya. Pilihan ini juga dirasa lebih cepat, karena untuk membuat undang-undang konsolidasi perlu waktu lama.

Menanggapi wacana ini, Prof. Dr. Gayus Lumbuun berpandangan, dirinya tidak setuju seandainya diterbitkan Perppu. Hal ini dikarenakan Perppu hanya sepihak saja, yakni pemerintah. Tapi, aspirasi yang selama ini ada adalah revisi terhadap UU KY. “Saya tidak setuju kalau ada yang mengatakan ini ada kekosongan pengawasan hakim, karena pengawasan masih ada yaitu di MA. Saya juga tidak setuju kalau harus ada Perppu, karena tidak sesuai dengan aspirasi yang berkembang di DPR. Perppu hanya sepihak, dan DPR tidak bisa mengontrolnya. Saya kawatir, hak publik untuk melakukan pengawasan terhadap hakim malah terabaikan,” paparnya.

Atas putusan MK tersebut diharapkan agar jangan sampai terjadi kesimpang-siuran wacana yang malah menjadikan mafia peradilan kembali lagi. Seharusnya putusan MK ini dicermati untuk melakukan koreksi bagi setiap stakeholder (pihak terkait).

Oleh karena itu, menurut ketuanya, M.Busyro Muqoddas, Ketua KY, pihaknya telah merumuskan revisi UU KY. Dalam revisi UU KY tersebut, definisi pengawasan hakim maupun sanksi dan kewenangan KY dalam pengawasan perilaku hakim akan dipertegas. Hal lain yang diatur dalam revisi UU KY ini adalah aturan perpanjangan masa pensiun hakim, mekanisme pengawasan KY, tata cara pemanggilan hakim dan penjatuhan sanksi serta kode etik hakim. Revisi tersebut juga memasukkan ketentuan yang tegas soal pembacaan putusan sebagai salah satu cara melakukan pengawasan. Putusan hakim bisa dianalisis apakah ada atau tidak pelanggaran kode etik hakim.

Busyro mengatakan, tim perumus revisi ini diketuai Prof. Chatamarrasjid, Anggota KY. Selain revisi UU KY, tim tersebut juga menyiapkan bahan revisi empat UU terkait yakni UU MA, UU MK, UU Peradilan Umum, dan UU Kekuasaan Kehakiman. Hasil kerja dari tim perumus tersebut akan diserahkan ke DPR.

Ia mengatakan, perumusan ini bukan saja sebagai bentuk respon atas putusan MK, akan tetapi merupakan agenda kuartal pertama tahun ini. Hal ini didasari karena kewenangan KY yang diberikan UU KY selama ini dirasa belum optimal dan kurang proporsional sehingga mengakibatkan perbedaan pendapat dengan MA. Semoga, dengan revisi undang-undang tersebut bisa mengatasi permasalahan-permasalahan dunia peradilan, termasuk pemberantasan mafia peradilan. (Tim PLEDOI)
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger