Paska era reformasi digulirkan, berbagai lini negeri ini mengalami euforia. Semua seakan berpesta untuk merayakannya. Biusan tersebut juga dirasakan di industri media. Berbagai media massa tumbuh bak jamur di musim penghujan. Stasiun televisi yang sebelum era tersebut hanya berjumlah empat buah (TVRI, TPI, RCTI, dan SCTV), kini sudah tak bisa dihitung dengan jari. Tentunya jumlah tersebut termasuk televisi lokal, televisi berlangganan, dan televisi nasional.
Media elektronik lain seperti radio maupun portal berita juga mengikutinya. Radio tumbuh begitu banyak dan beragam konten siarannya. Tak ketinggalan, radio komunitas yang dimungkinkan kehadirannya lewat UU Penyiaran ikut meramaikan langit nusantara.
Begitu pula dengan portal berita. Setelah era dot com mulai surut, kini berbagai portal penyedia informasi (baik yang berkonten serius maupun hiburan dan hobi) mulai bermunculan. Kesuksesan detik.com nampaknya membuktikan bahwa masyarakat Indonesia "ternyata" tidak begitu gagap teknologi. Selain portal berita, kini kehadiran blog yang menghadirkan berbagai tulisan maupun informasi juga kian meramaikan dunia maya di Indonesia.
Bagaimana dengan media cetak? Wauw, fantastis. Media cetak -meski harga kertas selangit- masih banyak bermunculan. Tak tanggung-tanggung ratusan media tumbuh paska era reformasi. Itu mungkin hanya di Ibu Kota Jakarta saja. Koran, tabloid, dan majalah begitu menghiasi lapak-lapak media di berbagai pelosok kota.
Namun, perkembangannya ternyata tak semulus yang diharapkan di awal. Banyak berbagai media tumbang. Entah ini lantaran kekurangsiapan dari pemodal terhadap risiko bisnis ini atau faktor lainnya.
Faktor lain yang disebut-sebut sebagai penyebabnya adalah kepentingan pemodal. Ya, media memang tak bisa dilepaskan dari kepentingan pemodal. Tak bisa dipungkiri, sebuah majalah mingguan yang kini mendominasi industri ini pun tak bisa luput dari kepentingan pemodal.
Melanggengkan kekuasaan, kepentingan bisnis, atau hanya sekedar gengsi-gengsian. Itulah motif pemodal menggelontorkan rupiahnya di bisnis yang padat modal ini. Andai kepentingan tersebut telah tercapai, tak sedikit diantara mereka yang dengan seenaknya mencabut "subsidinya" dan membiarkan medianya hanya tinggal nama.
Kini, sepertinya kondisi tersebut berulang. Guna menyongsong 2009, Pemilihan Kepala Daerah maupun hanya sekedar ingin nampang di jajaran organisasi tertentu sang pemilik modal terpaksa rela untuk menerjuni bisnis ini.
Kalau demikian, hampir pasti, menejemen yang diterapkannya pun asal jalan saja. Terkesan media yang hanya dijadikan kuda tunggangan tidak terkelola dengan rapi dan memiliki visi yang jelas.
Kalau sudah demikian, selain menurunkan "derajat" industri pers, masyarakat pembaca atau penikmat informasi pun dirugikan. Informasi bermutu dan menentramkan tak kunjung mereka dapatkan. Atau bisa jadi, malah informasi picisan yang menjual paradigma "murahan" juga.
Semoga. Industri pers di Indonesia kian hari semakin bertambah dewasa. Jangan sampai industri ini juga terkontaminasi dan akhirnya terjajah Kapitalis. Naudzubillah. (KP)
Home »
» Media Diantara Berbagai Kepentingan
Media Diantara Berbagai Kepentingan
Written By REDAKTUR on 14 September 2006 | 2:39 AM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment