Meski pemerintah berencana meninjau ulang PP 37/2006, peraturan ini dianggap sebagai wujud ketergesa-gesaan dan ketidakpekaan pemerintah.
"Banyak Pemerintah Daerah yang akan kewalahan dan tak mampu memenuhi yang dipersyaratkan dalam PP 37/2006. PP ini diindikasikan sebagai bentuk kompromi dari pemerintah agar dewan (DPRD) tidak menghambat proyek yang telah direncanakan". Kalimat ini terlontar dari diskusi penulis dengan sebuah sumber yang dikenal dekat dengan pejabat di Departemen Dalam Negeri soal hebohnya PP 37/2006. PP yang sebenarnya penyempurnaan dari PP 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
PP ini bertujuan untuk mengatur secara jelas soal jenis, macam, dan besaran pendanaan bagi Pimpinan dan Anggota DPRD termasuk Dana Operasional dan Tunjangan Komunikasi Intensif dengan tetap mempertimbangkan asas kepatutan, kemampuan keuangan daerah, dan beban kerja. PP tersebut merupakan salah satu peraturan pelaksana dari UU 22/2003 tenang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
PP ini menuai kontroversi lantaran ada tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional yang terlihat begitu tinggi. Malah ada kesan, pemerintah daerah begitu memanjakan anggota dewan (DPRD). Tengok saja Pasal 10 PP ini. Di situ tercantum ketentuan, "Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD terdiri atas: uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panitia musyawarah, tunjangan komisi, tunjangan panitia anggaran, tunjangan badan kehormatan, dan tunjangan alat kelengkapan lainnya". Ketentuan ini, menurut sumber kami, sebelumnya lebih banyak lagi. Tepatnya dalam 'draf' RPP-nya.
PP ini menurut sumber kami itu, juga pernah diduga 'dipalsukan'. Ia mengungkapkan, ada salah satu pensiunan Depdagri yang mengungkapkan bahwa di tahun 2005 muncul PP serupa dan bernomor sama, yakni PP No.37 Tahun 2005. Tapi, PP ini tidak beredar luar, hanya kalangan tertentu saja. Entah apa motifnya, tapi menurut sumber tersebut, PP ini sempat ada Pemerintah Daerah yang menjalankannya.
Terlepas dari ada atau tidaknya 'PP 37/2005' itu, tapi dalam PP 37 Tahun 2006 ini disisipkan pasal antara Pasal 10 dengan Pasal 11, yakni Pasal 10A. Nah, pasal ini berbunyi:
(1) Selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, kepada Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan penerimaan lain berupa Tunjangan Komunikasi Intensif.
(2) Selain penerimaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pimpinan DPRD diberikan Dana Operasional.
Ketentuan inilaih yang menuai reaksi keras, terutama dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat. Mereka menilai ketentuan tersebut tidak mencerminkan kepekaan wakil rakyat dan pemerintah terhadap kondisi bangsa ini. Apalagi jika kita melihat besaran dalam penghitungannya.
Pasal 14A PP 37/2006 berbunyi, "Tunjangan Komunikasi Intensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A ayat (1) diberikan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD setiap bulan paling tinggi 3 (tiga) kali uang representasi Ketua DPRD".
Sementara di Pasal 14B-nya tercantum, ayat (1) "Dana Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A ayat (2) diberikan kepada Ketua DPRD setiap bulan paling tinggi 6 (enam) kali uang representasi yang bersangkutan"; kemudian di ayat (2)-nya "Dana Operasional yang diberikan kepada Wakil Ketua DPRD paling tinggi 4 (empat) kali uang representasi yang bersangkutan".
Sungguh Pemerintah Daerah bisa dibuat tekor oleh PP tersebut. Apalagi ketika pemberian kedua tunjangan tersebut dirapel (diakumulasikan) seperti yang dicerna oleh beberapa daerah. Bisa-bisa alokasi pembelanjaan APBD tersedot habis bagi sang wakil rakyat di daerah tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun dibuat senewen dengan PP itu. Ia pun lantas meminta kejelasan dan kemudian bersama dengan Menteri Dalam Negeri merencanakan membuat peraturan menteri untuk mengatur besaran maksimum bagi pemberian tunjangan dewan. Hal ini didasarkan dari keberagaman kondisi daerah di Indonesia dan aspirasi yang timbul paska mencuatnya PP tersebut.
Pemerintah pusat, melalui Mendagri dan Menkeu berencana membuat klasifikasi Kemampuan Keuangan Daerah terhadap Besaran Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Tapi toh, rencana tersebut dianggap kurang kuat dasar hukumnya. Lantaran hanya setingkat peraturan menteri. Padahal, di PP-nya bisa ditafsirkan pemberian Tnjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional itu diambil rata oleh Pemerintah Daerah.
Beberapa pemerintah daerah ada yang sudah membagikan kedua macam dana bagi anggota dewan tersebut, tapi ada juga yang belum. Untuk yang sudah membagikan, para anggota dewan pun ada yang menerima tapi ada pula yang menolaknya. Mereka yang menolak lantaran PP 37/2006 ini bisa menjebak mereka sebagaimana halnya PP 110 yang banyak memejahijaukan anggota DPRD.
Kita tunggu saja apa perkembangan selanjutnya mengenai PP 37/2006 ini. Akankah pemerintah berani untuk mencabutnya?
Home »
» Ada Ketidakpekaan di PP 37/2006
Ada Ketidakpekaan di PP 37/2006
Written By REDAKTUR on 15 January 2007 | 3:46 AM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment