oleh : Prija Djatmika, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Hasil polling Transparancy International Indonesia (TII) tentang indeks korupsi di Indonesia tahun ini, seperti tahun-tahun lalu, mendapat reaksi keras lembaga-lembaga yang menduduki peringkat tertinggi. Lembaga legislatif, salah satu lembaga terkorup hasil polling TII tahun ini, malah mengundang khusus Ketua TII Todung Mulya Lubis untuk mendapatkan klarifikasi. Selain mempersoalkan akurasi data dan responden, lembaga legislatif memberikan klarifikasi kesalahan data tersebut dengan menjelaskan secara rinci posisi dan kiprah mereka selama ini.
Berbeda dengan DPR, Kapolri Jenderal (polisi) Soetanto, sekalipun juga merasa keberatan lembaganya masuk dalam lima besar institusi terkorup, pihaknya menerima data tersebut untuk perbaikan kinerja internalnya. Permintaan Mulya Lubis untuk bisa bertemu Soetanto dan mengadakan klarifikasi bersama, malah belum ditanggapi hingga kini. Dunia Peradilan Lembaga lain, seperti tahun-tahun lalu, masih memasukkan lembaga peradilan sebagai lima besar indeks tertinggi terkorup. Namun, sampai dengan hari ini, sepanjang yang saya tahu, belum ada reaksi dari ketua Mahkamah Agung maupun Jaksa Agung atas predikat itu. Mereka membiarkannya, ibarat pepatah biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu, atau mereka tengah menyusun langkah-langkah untuk mengklarifikasinya nanti. Satu hal yang perlu dikritisi adalah tidak terkuaknya peran advokat dalam laporan TII kali ini. Semoga saja bukan karena ketua TII-nya seorang advokat, sehingga peran advokat dalam jaring-jemaring praktik korupsi di dunia peradilan tidak ikut terkuak. Atau, lantaran lupa ditanyakan ke responden, yang konon diwawancarai secara langsung di lima kota besar. Atau, ditanyakan namun menurut responden angka indeksnya kecil, sehingga tidak signifikan untuk ikut terungkapkan.
Entahlah. Persaingan Pasar Meski demikian, layak kita mengkritisi seberapa jauh kalangan advokat/pengacara ikut berperan dalam konstelasi sengkarutnya korupsi di dunia peradilan. Advokat/pengacara adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika dan kinerja di dunia peradilan, selain para terdakwa sendiri. Mereka (advokat, tersangka, terdakwa, penggugat, atau tergugat) adalah lawan main atau partner kerja langsung dalam persidangan dengan hakim (perkara perdata), serta polisi, jaksa dan hakim dalam peradilan pidana. Kalau hasil polling TII mengatakan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan masuk indeks lembaga terkorup, tentu yang menjadi korban atau sekaligus partisipan dalam korupsi berjamaah itu adalah advokat, terdakwa, penggugat, atau tergugat. Dari mana polisi, jaksa, dan pengadilan bisa korupsi kalau tidak ada advokat, tersangka, terdakwa, penggugat, atau tergugat yang menyuap, atau ikut terlibat aktif dalam jual beli perkara? Tentu saja tidak semuanya, mereka -dalam bahasa klasiknya- adalah oknum-oknum.
Sejarah peradilan di negeri ini, pernah menyidangkan oknum advokat yang terbongkar menyuap panitera Pengadilan Tinggi Jakarta, dalam kasus mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh. Sejarah yang sama dan masih hangat adalah persidangan kasus korupsi oknum hakim yang menyidangkan perkara mantan Dirut Jamsostek, sekaligus dengan oknum dua jaksa, yang kini disidang pula. Kiranya tidak hanya contoh-contoh di atas, seberapa banyak oknum hakim, jaksa, dan polisi yang sudah disidangkan karena kasus korupsi.
Namun, benarkah hanya satu advokat itu yang pernah menyuap panitera, jaksa, polisi, atau hakim? Tentu -kalau mau jujur- advokat itu tidak sendirian dalam melakukan tindakan amoral. Masalahnya, cuma dia tertangkap, sementara oknum-oknum advokat lain yang melakukan hal yang sama, masih terselamatkan. Lolos dari jerat KPK atau Timtastipikor.
Apakah hasil TII kali ini bisa menjadi justifikasi sesungguhnya advokat juga tidak bersih dari jaring-jemaring korupsi di dunia peradilan? Mungkin, Mulya Lubis bisa menjawabnya. Ada banyak cara yang ditempuh oknum advokat untuk meloloskan diri dari jerat kasus korupsi seperti itu. Seorang teman advokat mengaku kepada penulis bahwa dia menghindari betul untuk menyuap polisi, jaksa, atau hakim. Namun, bukan berarti dia membela perkara dengan bersih, sebagaimana adanya perkara yang ditanganinya. Cuma, perihal negosiasi yang ada kaitannya dengan suap-menyuap itu, dia serahkan sepenuhnya pada upaya-upaya kliennya sendiri guna menghubungi oknum polisi, jaksa, atau hakim. Dia pura-pura menutup mata dan menerima laporannya saja. Dengan begitu, dia terselamatkan dari jeratan praktik korupsi.
Dalam iklim mafia peradilan yang sudah menjadi kebudayaan hukum di negeri ini, memang susah mengharapkan advokat yang putih bersih, melakukan pembelaan ke kliennya murni berdasarkan legal factie (fakta-fakta hukum) yang ada. Tentu saja masih ada, namun sulitnya ibarat mencari sebuah jarum di semak belukar. Kasus seperti ini bukan monopoli di Indonesia. Dalam situs-situs internet tentang dunia advokat (lawyer) di Amerika Serikat, praktik-praktik advokat yang menyuap hakim atau para juri sering diberitakan. Beberapa film hukum dari AS juga menceritakan kasus penyuapan seperti itu. Karena itu, ketika TII tahun ini menempatkan dunia peradilan (masih) sebagai lembaga terkorup, sebaiknya kita tidak hanya memelototi para oknum polisi, jaksa, dan hakim. Tengoklah pula peran oknum advokat di dalamnya. Almarhum John Lennon bilang: I don’t want to be a lawyer, because I don’t want to be a lier.
Prija Djatmika, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang
Home »
» Pengadilan Korup, Dimana Peran Advokat?
Pengadilan Korup, Dimana Peran Advokat?
Written By REDAKTUR on 16 January 2007 | 2:49 AM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment