Random Post

.
Home » » Merampok Uang Rakyat

Merampok Uang Rakyat

Written By REDAKTUR on 23 January 2007 | 1:38 AM

Oleh Saldi Isra*)

Tahun 2007 akan menjadi kelanjutan catatan tragis penggunaan uang negara dalam penyelengaraan pemerintah daerah. Dengan alasan mendorong peningkatan kinerja DPRD, pada 14 November 2006 lalu, Presiden Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

Melihat item-item penghasilan pimpinan dan anggota DPRD dalam PP 37/2006, pendapatan legislatif daerah akan menghabiskan pendapatan asli daerah (PAD) dalam jumlah yang cukup besar. Bisa jadi, semua PAD habis untuk pendapat pimpinan dan anggota DPRD. Lebih tragis lagi, bagi beberapa kabupaten/kota, PAD tidak cukup untuk membayar segala macam bentuk pendapatan legislator daerah.

Mengejar pendapat secara hukum, presiden memang berwenang mengeluarkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Namun, menghitung besarnya uang negara yang harus dikeluarkan untuk membayar pendapatan pimpinan dan anggota DPRD, banyak kalangan menduga bahwa PP 37/2006 merupakan bagian dari strategi pemerintah pusat menghadapi tekanan partai politik.
Dari catatan yang ada, sejak terbentuknya DPRD hasil Pemilihan Umum tahun 2004, PP 37/2006 merupakan perubahan kedua atas PP 24/2004. Sebelum PP 37/2006, PP 24/2004 telah diperbaiki dengan PP 37/2005. Artinya, dalam rentang waktu kurang dari dua setengah tahun, presiden telah menetapkan tiga kali peraturan pemerintah tentang protokoler dan keuangan anggota DPRD.

Dengan banyaknya jenis penerimaan, kehadiran PP 37/2006 begitu menyedot uang negara. Misalnya, penghasilan pimpinan dan anggota DPRD terdiri atas uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panitia musyawarah, tunjangan komisi, dan tunjangan panitia anggaran.

Selain penghasilan itu, kepada pimpinan dan anggota DPRD diberikan penerimaan lain berupa tunjangan komunikasi intensif (TKI). Dalam angka 15a PP 37/2006 dinyatakan, TKI diberikan dalam rangka mendorong peningkatan kinerja pimpinan dan anggota guna menampung dan manyalurkan aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya.

Dengan struktur penerimaan tersebut, di DPRD Provinsi Provinsi Sumatera Barat, misalnya, setiap bulannya ketua DPRD akan menerima lebih dari Rp 42 juta, wakil ketua lebih dari Rp 32 juta, dan anggota hampir Rp 21 juta. Jumlah itu masih akan bertambah dengan adanya tunjangan kesejahteraan berupa pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan, pakaian dinas, dan biaya yang ditimbulkan dari perjalanan dinas.

Kebablasan pemerintah jika dibandingkan dengan semua peraturan pemerintah tentang protokoler dan keuangan anggota DPRD yang pernah ada, tidak terbantahkan, PP 37/2006 memberikan pendapatan yang amat besar bagi pimpinan dan anggota DPRD. Karenanya, hampir semua anggota DPRD menyambut gembira kehadiran PP 37/2006.
Bisa jadi, bagi mayoritas pimpinan dan anggota DPRD, PP 37/2006 merupakan hadiah akhir tahun yang amat istimewa. Namun, kalau dilihat dari sudut krisis keuangan negara, tindakan pemerintah menerbitkan PP 37/2006 dapat dikatakan amat kebablasan. Bisa dibayangkan, sebagian besar uang negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, hanya dinikmati segelintir elit politik di lembaga legislatif. Bahkan, bagi pimpinan DPRD, terjadi duplikasi penerimaan antara TKI dengan tunjangan operasional.

Dalam angka 15b PP 37/2006 dinyatakan, dana operasional diberikan untuk menunjang kegiatan yang berkaitan dengan representasi, pelayanan, kemudahan dan kebutuhan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas dan fungsi pimpinan DPRD sehari-hari. Dari ketentuan itu, menjadi sulit membedakan antara TKI dan tunjangan operasional.

Tak kalah seriusnya, ketentuan TKI dan dana operasional diberlakukan surut terhitung sejak 1 Januari 2006. Pemberlakukan surut ini tidak sejalan dengan sistem anggaran berbasis kinerja. Apalagi, kalau mata anggaran itu tidak dicantumkan dalam APBD atau perubahan APBD tahun 2006. Padahal, Pasal 192 Ayat (3) UU 32/2004 menentukan bahwa pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja daerah jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD.

Memang pemerintah membuat sedikit katup pengaman, penetapan besarnya TKI dan dana operasional pimpinan DPRD mempertimbangkan beban tugas dan kemampuan keuangan daerah. Di sampung itu, penggunaan TKI dan dana operasional memperhatikan asal manfaat dan efisiensi dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas.
Melihat sepak terjang anggota DPRD menggunakan uang rakyat selama ini, katup pengaman itu tidak mampu membatasi mereka untuk mendapatkan penghasilan secara maksimal. Karena kebablasan pemerintah itu, PP 37/2006 telah memicu ketegangan antara kepala daerah dan DPRD. Bagi kepala daerah yang mengerti betul dengan sistem anggaran dan kesulitan keuangan daerah, katup mempertimbangkan beban tugas dan kemampuan keuangan daerah dijelaskan sedemikian rupa agar pimpinan dan anggota DPRD tidak menggunakan secara maksimal peluang yang ada dalam PP 37/2006.

Tidak hanya kepala daerah, kalangan yang concern terhadap isu korupsi juga mengingatkan bahwa memaksakan pendapatan maksimal, pimpinan dan anggota DPRD sedang berjudi dengan tindak pidana korupsi. Dengan mengabaikan katup mempertimbangkan beban tugas dan kemampuan keuangan daerah, mereka bisa saja mengulangi pengalaman pahit sebagian anggota DPRD Periode 1999-2004. Namun itu semua tidak mampu menghentikan langkah pimpinan dan anggota DPRD untuk mendapatkan penghasilan maksimal dari APBD.

Banyak kalangan merasakan, penggantian peraturan pemerintah tentang protokoler dan keuangan anggota DPRD yang berulang kali membuktikan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan partai politik. Padahal, masih banyak urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih urgen untuk diwadahi dengan peraturan pemerintah. Misalnya, sampai saat ini pemerintah belum juga merampungkan perubahan peraturan pemerintah tentang struktur organisasi tata kerja daerah. Padahal, perubahan itu lebih diperlukan untuk menata ulang struktur organisasi di daerah. Melihat jumlah uang negara yang akan dibayarkan untuk memenuhi PP 37/2006, jangan-jangan ini merupakan bentuk kolusi baru antara pemerintah dan partai politik untuk merampok uang rakyat!

*) DOSEN HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG.
Share this article :

1 komentar:

Anonymous said...

Irwan Tanuwidjaja, apakah merampok uang rakyat sah dimata HUKUM?

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger