
Proses pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) yang akan menggantikan UU No 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan seharusnya melakukan kaji ulang terhadap izin-izin pertambangan yang ada selama ini.
Kaji ulang izin pertambangan dinilai perlu dilakukan untuk memberikan payung hukum yang lebih berpihak pada lingkungan dan masyarakat. Sebab, izin-izin pertamabangan sebagian besar justru melahirkan masalah bagi masyarakat sekitar pertambangan dan menimbulkan kerugian bagi negara.Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah berpendapat, seharusnya RUU Minerba menjawab permasalahan yang diwariskan UU lama.
Persoalan tersebut di antaranya konflik yang kerap terjadi antara masyarakat adat dengan perusahaan pertambangan dan kaji ulang izin pertambangan."Selama ini banyak izin pertambangan yang ternyata tidak semuanya beroperasi. Mereka menunggu harga mineral naik, kemudian area pertambangan didiamkan begitu saja. Selain itu, banyak izin pertambangan yang operasionalnya melakukan pelanggaran lingkungan," kata Siti Maemunah pada jumpa pers bersama Walhi, HuMa dan ICEL, Jumat (5/12), di Jakarta.
Pada akhir-akhir pembahasan RUU Minerba, menurut dia ada dua persoalan yang dijadikan sorotan. Di antaranya, dua partai pemerintah Golkar dan Demokrat mendesakkan Perizinan Usaha Pertambangan (PUP) yang membuka peluang istimewa bagi tambang asing.
"Selain itu, ya tidak adanya peluang untuk membuat renegosiasi kontrak kerja," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ICEL Rino Subagio memaparkan, dari segi proses pembahasan RUU Minerba tidak menunjukkan proses yang baik. "Dalam legal drafting seharusnya ada good process, mestinya proses dilakukan secara baik dan secara substansi memenuhi googd norm," kata Rino.
Secara prinsip demokrasi, RUU ini dinilainya tidak mengakomodir akses informasi dan partisipasi masyarakat. Sebab, tidak ada aturan bagaimana masyarakat bisa mengakses kontrak karya ataupun mengetahui operasional pertambangan. Dari sisi partisipasi, masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengeluaran izin tambang hingga operasionalnya.
RUU Minerba Memihak Pengusaha?
Rancangan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba), kabarnya akan segera diketok palu pada sidang paripurna, paling lambat akhir bulan ini. Namun, setelah 4 tahun pembahasan yang hampir berujung, rumusan RUU tersebut dinilai masih belum berpihak pada masyarakat, utamanya di sekitar area pertambangan.
Dalam jumpa pers bersama yang diadakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Walhi, ICEL dan HuMa, disebutkan bahwa RUU tersebut sama sekali tak memberikan perlindungan kepada masyarakat. Melainkan, hanya mengakomodir kepentingan pengusaha pertambangan.
"RUU Minerba ini tak ada signifikasinya karena tidak berpihak pada kepentingan lingkungan dan masyarakat, tapi lebih ke kepentingan modal dan eksplorasi sumber daya alam," kata Direktur Eksekutif Walhi, Berry Nahdian Furqon, Jumat (5/12).
RUU Minerba juga dinilai tidak melihat kondisi riil pertambangan di Indonesia yang carut marut, ditambah dengan tidak adanya daya dukung lingkungan untuk terus ditambang. Seharusnya, menurut Berry, RUU yang akan menggantikan UU No 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan ini, dibuat setelah dilakukan kaji ulang terhadap sektor pertambangan.
Koordinator Eksekutif HuMa, Asep Yunan Firdaus mengatakan, dengan tidak adanya perlindungan masyarakat, yang paling rentan adalah masyarakat pedalaman dimana area tempat tinggalnya menjadi lokasi pertambangan. Tidak adanya perlindungan, terlihat pada rumusan pertimbangan RUU yang tidak memasukkan konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan pertambangan. Padahal, konflik ini kerap terjadi.
"Tidak ada pertimbangan yang mengatakan bahwa banyak konflik dimana berdampak pada masyarakat yang menjadi korbannya. Selain itu, dalam RUU ini masyarakat dijadikan objek pemberdayaan," ujar Asep.
Bentuk perlindungan masyarakat yang seharusnya diakomodir, misalnya melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan pertambangan hingga ke monitoring. "Karena masyarakat adat sebagian besar berada di area pertambangan. Mereka seharusnya dilibatkan untuk turut menentukan setuju atau tidak wilayahnya dijadikan area pertambangan," lanjut Asep.
Sumber: KOMPAS dan PRESS CONFERENCE JATAM
0 komentar:
Post a Comment