
Tanggal 9 Desember, seluruh dunia dalam memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia. Penetapan itu didasari Resolusi PBB No.58/4 tertanggal 31 Oktober 2003 sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kewaspadaan dunia terhadap korupsi dan pengoptimalan peran UNCAC (United Nation Convention Against Corruption) dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi.
Indonesia sendiri dalam konvensi itu juga termasuk salah satu negara yang turut menandatanganinya, tepatnya pada 18 Desember 2003. Setelah itu, pemerintah Republik Indonesia pun membuat Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Pembentukan itu bertujuan untuk mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara, mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam rangka penegakan hukum, meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara RI selain dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan(PPATK), dan institusi terkait.
Penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan oleh tiga pilar, yaitu penyidik Polri, penyidik Kejaksaan, dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada periode 2004 hingga 2008, penyidik Polri telah menangani 1.095 kasus, penyidik Kejaksaan 3.143 kasus, dan penyidik KPK 110 kasus.
Jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan pada periode 2004 hingga November 2008 dari penanganan kasus korupsi oleh Polri mencapai Rp859,76 miliar, Kejaksaan Rp8 triliun dan US$18 juta, dan Rp476,46 miliar. Jumlah ini belum termasuk barang bukti yang dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang belum diambil, dilelang, dikembalikan kepada yang berhak, baik instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD.
Eksistensi Pengadilan Tipikor Terancam
Tenggat waktu tiga tahun yang diamanatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pembuatan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor) tinggal menghitung hari.
Meski demikian, Putusan MK mengenai masalah itu dibuat pada 2006, maka batas waktu yang diamanatkan itu akan habis pada tahun 2009, itu masih nyantol di DPR, karena hingga penghujung tahun 2008 ini para legislator masih belum juga menyelesaikannya.
Ketua Komisis III DPR RI, Tri Media Panjaitan mengungkapkan, pihaknya pesimis jika RUU Pengadilan Tipikor bisa rampung sebelum pergantian tahun, apalagi masa reses DPR menjadi penghalang belum tercapainya target waktu itu. Dirinya menandaskan, paling cepat awal tahun 2009 RUU itu baru akan dirampungkan dan disetujui.
Ketua DPR Agung Laksono, beberapa waktu lalu, memberikan kritik kepada pemerintah karena ekskutif dinilai lamban dalam menyiapkan draft RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ke DPR.
“Hingga saat ini pemerintah belum menyampaikan draf RUU tersebut kepada DPR,” kata Agung Laksono.
Desakan untuk segera merampungkan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor menguat belakangan ini, karena jika undang-undang itu sampai tidak terwujud maka Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang ada saat ini tidak berdasar.
Teten Masduki, pengamat korupsi mengatakan, jika sampai pada waktu yang ditentukan pemerintah tidak mengesahkan sebuah Undang-Undang sebagai payung hukum, maka eksistensi Pengadilan Tipikor yang ada saat ini menjadi hilang dan penanganan kasus korupsi akan diperiksa oleh pengadilan umum. Bila itu yang terjadi maka berarti sebuah kemunduran dalam proses perjalanan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Alotnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di DPR itu antara lain pada ketentuan mengenai keberadaan Pengadilan korupsi yang ada di setiap Pengadilan Negeri. Selain itu, DPR juga alot dalam pengaturan keberadaan hakim ad hoc dalam menyidangkan kasus kasus korupsi yang ada di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri/umum).
Manajer Divisi Korupsi Bidang Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ibrahim Fahmi Bado mengatakan, perubahan UU Tipikor ini diharapkan tidak akan mengurangi progresifitas dari pemberantasan korupsi.
Selama ini belum ada perbaikan yang berarti yang terjadi baik di Mahkamah Agung maupun kejaksaan. Menurut Ibrahim pasal yang mengatur persyaratan untuk menjadi hakim tipikor jangan sampai lebih banyak berpihak pada kepentingan hakim karir yang secara internal mereka belum memiliki sistem perbaikan.
Banyaknya Pengadilan Tipikor di pengadilan umum, Ibrahim tidak yakin apakah tersedia juga sumber daya yang cukup terutama terkait dengan integritas. Tidak bisa juga dijamin ke depan, pengadilan tipikor akan efektif, apalagi korupsi terjadi begitu merata di Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment