Random Post

.
Home » » Agar Lebih Bijak Membuat Perda

Agar Lebih Bijak Membuat Perda

Written By REDAKTUR on 11 December 2008 | 1:45 AM


Tidak lama lagi RUU tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRD) bakal disahkan. Bila tidak ada aral melintang, sekitar Januari mendatang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diagendakan akan mengesahkannya.

Bila hal itu bernar berarti, pemerintah Daerah (Pemda) mulai Februari 2009 harus lebih hati-hati lagi dalam mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang restribusi dan pajak. Jika daerah masih membandel, pemerintah pusat pun sudah menyiapkan sanksi.

Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo mengatakan keyakinannya bahwa DPR sudah bisa mengesahkan RUU PDRD dan mengantikan UU No 34 tahun 2000 tentang PDRD pada akhir Januari 2009 nanti. UU lama perlu diganti karena basis pajak daerah sangat terbatas, tidak ada diskresi (kebebasan) dalam penetapan tarif khususnya untuk propinsi, dan banyaknya pungutan daerah yang bermasalah sebagai konsekuensi pemberian kewenangan untuk menetapkan pajak dan retribusi baru (open list) dan terbatasnya dana transfer dari pusat.

Selain itu banyak daerah yang tidak menyampaikan perda kepada pemerintah pusat sebagai konsekuensi dari tidak adanya sanksi dan
sistem pengawasan yang bersifar represif. "UU ini akan memberikan kepastian pungutan pajak dan retribusi daerah, dan peningkatan
pengawasan pungutan daerah," kata Mardiasmo di Jakarta, Kamis (11/12)

Kebijakan tentang PDRD ke depan akan diarahkan antara lain untuk memperbaiki struktur penerimaan APBD dengan memperkuat penerimaan Penerimaan Asli Daerah (PAD) secara bertahap sejalan dengan semakin besarnya tanggungjawab pengeluaran daerah. Mardiasmo menambahkan, saat ini masih banyak daerah yang memiliki Perda arau Raperda yang bermasalah.

Data per 10 Desember 2008 Departemen Keuangan menunjukkan, dari hasil evaluasi sekitar 7.982 Perda tentang PDRD sebanyak 32% atau sekitar 2.554 perda direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi. Sedangkan untuk Raperda, dari 2.121 yang diusulkan sebanyak 67% atau sekitar 1.421 raperda direkomendasikan untuk direvisi atau ditolak. Sektor yang paling banyak dibatalkan perdanya antara lain di perhubungan (15%), pertanian (13%), perindustrian dan perdagangan (13%) dan kehutanan (11%).

Pajak Lingkungan?
Departemen Keuangan keukeuh mempertahankan klausul pajak lingkungan di dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD).

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo mengatakan, pemerintah mempertahankan pajak lingkungan sebagai upaya untuk perbaikan lingkungan. "Nantinya harus ada optimalisasi pelayanan terbaik di dalam menjaga lingkungan karena kerusakan lingkungan harus ditekan. Untuk itu, nanti dibicarakan formatnya," ucap Mardiasmo di sela rapat panitia anggaran (Panggar) tentang RAPBN 2009, Rabu (22/10).

Mardiasmo memastikan, pemerintah pusat bakal menjamin bila pajak lingkungan resmi dijalankan maka tidak ada lagi penarikan pungutan baik berupa pajak maupun retribusi yang terkait dengan lingkungan.

Salah satu pungutan yang bakal tidak lagi dipungut adalah penarikan pajak daerah mengenai analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). "Semua aturan di luar pajak lingkungan, akan gugur dengan sendirinya karena RUU ini semacam closed list," sambungnya.

Sementara Hariyadi B.Sukamdani Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Kepabeanan mengatakan seharusnya pemerintah tidak memungut pajak lingkungan karena pemerintah menerbitkan legalitas untuk perusakan lingkungan.

Mengizinkan Pencemaran Lingkungan?
Klausul tentang pajak lingkungan itu bisa jadi akan menjadi bumerang. Di samping sudah ada aturan yang mengaturnya, juga dikhawatirkan bisa memicu pencemaran lingkungan. Seolah, setelah membayar pajak lingkungan, si pembayar bisa sesukanya mengeksploitasi lingkungan.

Hariyadi B.Sukamdani yang melontarkan pandangan itu. Ia menilai, ada baiknya usul pemerintah tersebut ditampik sejak awal. "Selama ini kan sudah ada peraturan yang mengatur soal izin lingkungan. Jadi, kenapa harus ada pajak lingkungan? Bukannya ini berarti pemerintah akan mengizinkan adanya pencemaran lingkungan ada double tax," ujar dia.

Di kalangan legislatif pun beberapa pihak berpikiran serupa. Hingga akhirnya dalam rapat pembahasannya deadlock. Karena itu, dalam rapat kerja Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD), pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) akhirnya lepas tangan membahas klausul pajak lingkungan yang merupakan usulan pemerintah.

Ketua Panitia Khusus RUU PDRD Harry Azhar Azis menjelaskan, hal itu tak lantaran belum ada kata kesepakatan (deadlock) baik di level fraksi yang ada di DPR maupun antara pemerintah dengan DPR. "Agar lebih cepat pengambilan keputusannya maka disepakati, musyawarah mengenai pajak lingkungan dalam rapat kerja dengan menteri terkait," ucap Harry kepada KONTAN, Minggu (12/10).

Menurut Harry, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup, yang mewakili pemerintah, tengah mengkaji ulang atas usulan pemerintah dalam RUU PDRD tersebut. Bukan tidak mungkin, pemerintah bakal mencabut usul yang telah disampaikan.

Sekadar mengingatkan, di dalam RUU PDRD, pemerintah mengusulkan agar ada pengenaan pajak lingkungan yang berhak dipungut oleh pemerintah kabupaten maupun kota. Tarifnya, sebesar 0,5% dari total nilai produksi yang dipatok minimal Rp 300 juta.

Harry menjelaskan, tidak semua fraksi di DPR sepakat atas usul pemerintah tersebut. Misalnya saja, Fraksi Partai Golkar (FPG) yang dengan tegas menyatakan menolak usulan pemerintah. "Kalau memang pajak lingkungan mau diadakan, maka harus dengan satu catatan: pungutan retribusi yang dilakukan pemerintah lewat penerbitan peraturan daerah soal izin, tapi yang terkait dengan izin harus dicabut," tandas Harry.

Anggota Panitia Kerja RUU PDRD Nursanita Nasution mengatakan, sikap akhir pandangan fraksi dan pemerintah mengenai usul pajak lingkungan bakal diputuskan di forum rapat kerja RUU PDRD. Bila musyawarah ternyata bakal buntu juga, maka terbuka kemungkinan pengambilan keputusan melalui voting. "Belum semua fraksi menyatakan dengan terang menerima atau menolak usulan pemerintah karena masih menunggu hasil kajian akhir pemerintah," ujar Nursanita.
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger