Random Post

.
Home » » Ketimpangan

Ketimpangan

Written By REDAKTUR on 16 November 2008 | 7:28 PM

Mudik menjadi kata yang banyak diucapkan, ditulis, maupun diperbincangkan dipenghujung Ramadhan kali ini. Seolah kata tersebut telah menjadi budaya tersendiri bagi sebagian besar masyarakat kita.

Tidak jarang, pemaknaan mudik seakan menjadi ritual sendiri ketika Idul Fitri menjelang. Masyarakat Muslim umumnya menjadi bertambah sibuk ketika Ramadhan mendekati sepertiga terakhir. Mereka biasanya mempersiapkan diri untuk menghadapi Hari Raya Idul Fitri dan persiapan pulang kampung.

Setelah mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya), mereka menyesaki pusat perbelanjaan. Berbagai barang spesial Lebaran dibelinya. Tak hanya untuk konsumsi pribadi, akan tetapi juga untuk kerabatnya di kampung halaman.

Namun, bagi mereka yang hidup di kota sudah pas-pasan, mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan keinginannya untuk mudik dan berbagi kebahagiaan dengan kerabatnya di kampung. Sampai-sampai, kita sering menjumpai masyarakat yang rela menggadaikan barang berharganya di pegadaian atau malah meminjam duit hanya untuk persiapan mudik.

Mudik sepertinya telah membuat sebagian masyarakat kita menjadi mengesampingkan semuanya, termasuk logika sekalipun. Demi mudik, dan –mungkin- disebut berhasil ketika merantau ke kota, orang rela melakukan apapun.

Entah merupakan suatu tradisi ataukah bukan, mudik dengan segala ‘gemerlap kota’ merupakan ‘prestise’ tersendiri. Decak kekaguman ataupun embel-embel sejenis yang menunjukkan pengapresian semu terhadap ‘keberhasilan’ perantau ternyata masih berkembang di masyarakat.

Masyarakat kita masih silau terhadap apa yang mereka lihat. Kekayaan, jabatan, dan kemewahan seolah masih menjadi tolak ukur keberhasilan seseorang. Pandangan ini tentunya sedikit banyak bisa mendorong orang untuk melakukan apapun demi menggapai semua itu. Bahkan bila perlu korupsi.

Penyempitan makna keberhasilan semacam ini tentu membawa konsekuensi tersendiri. Mereka tentu menjadi semakin berat beban sosialnya. Untuk bisa hidup di kota saja begitu susahnya, apalagi ‘berpenampilan’ mentereng saat Lebaran.

Struktur kehidupan sosial masyarakat desa bisa jadi masih seperti gambaran itu. Kultur, memandang kota dengan penuh harapan selayaknya surga ternyata masih saja ada. Buktinya, tiap tahun jumlah pendatang baru di kota tidak juga berkurang. Malah semakin bertambah.

Mereka yang datang ke kota terbuai dengan semilir angin surgawi di sana. Pekerjaan dan uang yang mudah di dapat. Tapi realita berbicara lain. Banyak diantara pendatang tersebut yang terpaksa harus menjadi kuli bangunan atau pekerjaan sektor informal lainnya. Apalagi bagi mereka yang tidak memiliki keahlian, menjadi pengamen ataupun peminta-minta terpaksa mereka jalani.

Kenyataan hidup itu tentu merupakan buah pahit dari harapan besar mereka terhadap kota. Modal nekat mereka selama ini ternyata malah menjadikan mereka sengsara. Meski kondisinya seperti ini, tak jarang pula mereka yang nekad memaksakan diri untuk mudik beserta ‘budaya’ pamer yang menyertainya. Kalo sudah demikian, bisa jadi mereka sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Malah ada sebagian diantaranya mencoba menempuh jalur salah. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan rezeki. Mulai dari mencuri hingga menjual diri bahkan mereka lakoni. Hal ini lantaran mereka ingin disebut sukses setelah merantau di kota.

Tentu ‘budaya’ itu harus segera diakhiri. Apalagi di dalam Islam tidak diperbolehkan riya’ (pamer), dan melakukan perbuatan maksiat lainnya. Islam menganjurkan agar setiap orang berusaha dengan jalan yang halal dan baik (thoyiban) untuk mengubah keadaan hidupnya.

Pemerintah dan segenap jajarannya juga tengah berusaha untuk meningkatkan pembangunan di desa-desa. Selain sarana yang menunjang pertanian, pemerintah juga menggelontorkan program untuk memberdayakan masyarakat di pedesaan.

Namun, kita juga harus akui, masih banyak desa kita yang harus diperhatikan pembangunannya. Selain infrastruktur pertanian, sarana pendukung lainnya harus diperhatikan. Listrik, jalan, air bersih juga harus diratakan pemenuhannya.
Tidak kalah pentingnya, bagaimana pembangunan ekonomi produktif di pedesaan juga harus ditingkatkan. Konsep pembangunan berlandaskan kompetensi daerah itu harus dijalankan. Bila daerah tersebut cukup subur, maka pembangunan berkonsep agropolitan perlu dilakukan di sana. Hal ini tiada lain tiada bukan bertujuan agar arus urbanisasi ke kota bisa diminimalisir dan desa pun bisa lebih berdaya.
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger