Random Post

.
Home » » Membiarkan Negara Tanpa Pemimpin

Membiarkan Negara Tanpa Pemimpin

Written By REDAKTUR on 17 March 2008 | 1:52 AM

oleh : DEREK MANANGKA

Sesaat setelah dilantik sebagai presiden tiga tahun lalu, Susilo Bambang Yudhoyono dengan lantang berjanji akan mengurangi perjalanan ke luar negeri. Alasannya, sebagai pemimpin, ia ingin lebih berkonsentrasi mengurus masalah dalam negeri yang cukup berat. Kehadiran seorang pemimpin di dalam negeri lebih diperlukan.

Janji itu sekaligus menyiratkan kritik halus terhadap presiden yang digantikannya. Secara tidak langsung, SBY ingin mengoreksi prilaku Megawati Soekarnoputri yang terlalu sering melawat negeri asing ketika menjabat sebagai presiden, sementara persoalan didalam negeri terus menumpuk.

Untuk menunjukkan komitmennya, pada satu kunjungan di Amerika Serikat, bahkan Presiden SBY secara demonstratif memimpin rapat kabinet lewat teleconference. SBY duduk di salah satu ruang di AS, sementara para anggota Kabinet Indonesia Bersatu berkumpul di ruang rapat di Kantor Kepresidenan Jakarta.

Rapat kabinet itu malah bisa diikuti oleh publik, karena disiarkan langsung melalui televisi. Tentu saja hasilnya tidak maksimal, sebaliknya justru menuai kritikan tajam dari publik. Hingga kini rapat seperti itu tak pernah digelar lagi.

Sejak Soeharto lengser pada pertengahan 1998, persoalan di dalam negeri yang diakibatkan krisis multidimensi memang makin menumpuk. Namun ini tidak mengurangi niat para presiden selanjutnya melakukan perjalanan ke berbagai negara.

Reaksi masyarakat terhadap janji SBY itu sesungguhnya sangat positif. SBY dilihat sebagai sosok pemimpin yang peka terhadap persoalan rakyat. Sayangnya, setelah tiga tahun lebih SBY berada di singgasana kekuasaan, ia pun seperti lupa janji. Bukannya mengurangi perjalanan ke luar negeri, tapi justru semakin sering.

Sesuai konstitusi, masa kerja Presiden SBY masih 18 bulan lagi. Belum jelas apakah Presiden SBY masih punya agenda perjalanan ke luar negeri yang tersisa.

Yang pasti perjalanan SBY selama 10 hari (10-20 Maret 2008) – dengan rute Iran (Teluk Persia), Senegal dan Cape Town (Afrika), dan Dubai, Uni Emirat Arab (Timur Tengah) – dikritisi sebagai sebuah perjalanan yang tidak produktif.

Tentu saja kesimpulan ini bukan dimaksudkan untuk mendegradasi posisi presiden. Tapi dengan mengkaji laporan wartawan-wartawan Indonesia yang mengikuti rombongan Presiden SBY, terkesan semua agenda Kepala Negara di negara-negara yang dikunjunginya lebih bersifat courtesy. Tidak satu pun agenda yang dapat dikategorikan sebagai acara yang ‘penting-penting banget’.

Bila dibandingkan dengan urgensi persoalan di dalam negeri yang memerlukan kehadiran seorang pemimpin, keberadaan Presiden SBY di luar negeri sama sekali tidak penting-penting banget.

Ambil contoh soal pertemuan dengan Presiden Iran tentulah tak sebanding dengan mengurai kasus BLBI dan tertangkapnya seorang jaksa senior oleh KPK saat menerima sogokan. Inti persoalan dalam kasus BLBI bukan sogokan uang senilai Rp 6 miliar, tapi bagaimana menarik kembali uang 600-an triliun yang dijarah para konglomerat ke kas negara.

Sementara agenda lawatan ke Iran tidak lebih dari 'meralat' kekeliruan Departemen Luar Negeri dalam memberi instruksi kepada Dubes RI di PBB yang menyebabkan Indonesia mendukung sanksi badan dunia itu kepada Iran.

Apalagi ada persoalan-persoalan baru, berupa kerusakan infrastruktur di sepanjang jalan utama, jalur ekonomi pulau Jawa. Kehancuran ekonomi di pulau Jawa tentu lebih penting ditangani ketimbang menghadiri KTT OKI di Senegal. Karena kerusakan infrastruktur itu sangat mempengaruhi kualitas kehidupan bangsa Indonesia – yang mayoritas tinggal di pulau Jawa.

Indonesia memang perlu menjaga citra sebagai anggota OKI yang punya komitmen. Namun sebagai pemimpin, Presiden SBY perlu lebih jeli dalam memilah dan memperhatikan kepentingan rakyatnya sendiri dibanding negara-negara anggota OKI.

Kesibukan di parlemen juga menjadi soal bagi presiden. Saat Presiden SBY sedang bersiap-siap dalam perjalanan ke luar negeri, DPR terus memainkan status mereka sebagai wakil rakyat yang paling sibuk dan berkompeten menanangani persoalan masyarakat. Mereka merevisi UU Pemilu. Namun bila dicermati, keputusan DPR yang menyetujui UU Pemilu yang baru, justru membuat persolan baru dalam Pemilu 2009.

Hal lain yang tidak kalah menarik adalah ditolaknya dua calon Gubernur Bank Indonesia yang notabene merupakan usulan Presiden SBY. Penolakan itu dapat diartikan sebagai sinyal kuat bahwa DPR sedang ‘mempermalukan’ PresidenSBY.

Apakah dalam 18 bulan ke depan masih akan muncul lagi persoalan bangsa yang lebih berat, tak ada yang tahu. Begitu juga soal apakah Presiden SBY akan melakukan lawatan lagi. Yang pasti tak ada yang rela bila bangsa ini ditinggal jalan-jalan oleh presidennya, sampai-sampai rakyat merasa seperti hidup di negara yang dibiarkan tanpa pemimpin.
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger