Random Post

.
Home » » Hikayat Kota Tak Bertuan

Hikayat Kota Tak Bertuan

Written By REDAKTUR on 17 March 2008 | 2:21 AM

RUANG kehidupan di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia terasa semakin sumpek. Jalan bertambah macet, banjir mengurung, merampas dan mengusir. Sepeda motor merampas ruang, pedagang kaki lima merampas, pengemis dan pengamen serba mengancam.

Ketika keluar dari rumah, ruang dinamika terasa menakutkan. Jalan yang berlubang bisa membunuh. Di Jakarta dalam sebulan terakhir tercatat tidak kurang dari 30 warga meninggal karena ditelan lubang-lubang yang menjebak di berbgai ruas. Tidak ada sense of urgency yang diperlihatkan pemerintahan kota untuk mengartasinya.

Alasan yang sangat lucu adalah bahwa perbaikan jalan tidak bisa dilakukan karena masih ada genangan air. Di ruas jalan Cilincing yang menjadi nadi ke Tangjung Priok, lubang-lubang tidak bisa diperbaiki karena menunggu genangan keriang. Artinya harus menanti musim hujan selesai. Kapan?

Jadi, warga dan kita semua harus menunggu sampai bulan April untuk menikmti kembali jalan yang mulus dan tidak berlubang. Andaikata musim hujan--karena anomali iklim sekarang tiba-tiba mundur sampai Juni atau Juli, artinya jalan-jalan rusak akan terjadi sampai dengan pertengahan tahun.

Bukankah tekonologi dan kesiagaan mengatasi bencana adalah bagaimana mencari jawab di saat bencana terjadi. Kalau menunggu semua serba normal, tidak ada guna kita memikirkan tekonologi kedaruratan. Tidak perlu membeli mesin pompa air di jalan tol bandara Soekarno Hatta, tidak perlu membeli mesin perata jalan dan sebagainya.

Monorail yang sempat dibangun dan merampas ruang jalan di Jakarta, kini dibiarkan terlunta tanpa diketahui apa penyebabnya. Konon, pemerintah tidak memiliki dana lagi untuk melanjutkan. Maka monorail akan menjadi kerangka bisu yang merampas lagi ruang mobilitas manusia.

Ketika Sutiyoso menjadi gubernur, ambisi untuk mengatasi kemacetan lalu lintas direalisasi melalui proyek busway. Tetapi proyek ini pun menjadi salah satu bagian dari kenyataan yang merampas ruang dan mobilisasi. Ketika Sutiyoso turun, busway terbengkelai dan monorail pun merana.

Adalah sangat berbahaya jika sebuah negara membangun ambisi tanpa konsistensi. Bila itu terjadi, tidak saja pemborosan, tetapi kebodohan juga aduhai. Setiap pemerintahan yang menggantikan, menganulir kebijakan dan mimpi pemerintahan sebelumnya.

Ketika pemerintah membangun supermal dan supermarket, maka yang terjadi adalah perampasan lagi terhadap ruang kehidupan. Pembangunan menjadi sebab dari penyumbatan pergerakan manusia.

Setiap kali dan setiap hari situasi ini bertambah parah. Sebagai warga kota dan warga negara kita bertanya ketika bangun pagi, adakah sesuatu yang berubah dan masihkah ada power yang mengatur dan mengatasi ini semua? Mengambil kemacetan sebagai contoh, jawabnya, inilah kota tidak bertuan.

Warga dibiarkan mencari jalan solusi masing-masing. Bila macet warga boleh mengarang jalan alternatif. Jalur busway boleh diserobot. Penumpang boleh naik ke atas kereta api. Pengemis boleh mengadang di traffic light. Pengamen boleh meneror atas nama hiburan.

Kemacetan di Jakarta adalah contoh negara/pemerintahan yang kehilangan power untuk mengatur. Karena power mengatur itu semakin lama semakin tidak efektif, negara kehilangan posisi tawar, rakyat kehilangan selera berpartisipasi.

Penyepitan ruang kehidupan yang tidak segera dilonggarkan kembali, adalah potensi ledakan sosial yang harus diwaspadai. Celakanya, para petinggi tidak merasakan itu, karena ketika mereka berada di jalan raya, mereka menikmati ruang yang lapang karena merampas ruang orang lain.

Sumber : INILAH.COM
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger