Barrack Obama berjanji jika berhasil menjadi presiden Amerika Serikat, ia akan menggelar pertemuan puncak negara-negara Muslim dan Barat. Summit itu ia anggap sangat penting "untuk membicarakan cara-cara kita mencegah kesalahpahaman dan celah yang makin lebar antara dunia Muslim dan Barat."
Ia mengemukakan rencana itu dalam wawancara dengan majalah ternama Prancis, Paris Match, yang terbit dua pekan lalu. "Saya akan ajak mereka bersama-sama memerangi terorisme," kata calon kuat kandidat Partai Demokrat itu. "Tapi kita juga harus mau mendengarkan masalah-masalah mereka (umat Islam)."
Meski diungkapkan pada majalah asing, pernyataan Obama cukup melegakan. Selain mengisyaratkan pendekatan yang lebih berimbang dan komprehensif dalam membasmi terorisme, ia juga memperlihatkan kearifan kenegarawanan.
Itu juga pendekatan yang strategis. Sumber-sumberdaya lokal, tempat asal-muasal terorisme, memang penting dimanfaatkan.
Sikap Obama berlawanan dengan kekakuan Presiden Bush, yang pada saat sama mengulangi tekadnya untuk terus menggencarkan war on terrorism selama delapan bulan sisa masa jabatannya.
Bush tidak menyinggung kerja sama dengan pemerintahan-pemerintahan Muslim dalam perang yang ganjil itu – sebuah perang yang tak jelas konfigurasi dan musuhnya, berbeda dari perang konvensional, dan karenanya tak jelas pula kapan berakhir.
Obama agaknya menyadari sumberdaya lokal itu selama ini kurang dimanfaatkan. Di bawah komando Panglima Bush, Gedung Putih menganut uniteralisme. Ia selalu mengesankan AS sanggup mengatasi terorisme sendirian, meski sering terbukti gagal, bukan hanya di Irak.
Berbeda dari Bush, Obama sadar terorisme mutakhir adalah barang baru. Jaringan teroris seperti Al Qaidah dan lain-lain itu tidak ada presedennya dalam sejarah.
Mereka sangat berbeda dari kelompok-kelompok teroris 1970an, seperti misalnya Bahder-Meinhoff, grup Carlos, Brigade Merah, atau bahkan PLO. Atau juga Macan Tamil Srilanka maupun Basque Spanyol, yang masih aktif.
Sasaran, doktrin, dan cakupan, selain kecanggihan teknis dan sumberdaya finansial terorisme mereka berbeda. Juga, sebuah ciri penting absen pada terorisme masa lalu itu: watak global. Bush memakai metode kemarin pagi untuk mengatasi terorisme hari ini.
Obama juga rupanya memahami apa yang diingatkan oleh ahli Islam Bernard Lewis dalam ceramahnya di Pew Research Center tahun lalu, bahwa ada banyak kepentingan yang sejajar antara Barat dan Islam.
Kerjasama kedua pihak di masa lalu pun pada umumnya berlangsung beres, meski di sana-sini ditingkahi sejumlah komplikasi.
Lewis khawatir, jika ketegangan dan semangat konfrontasi antara Barat dan Islam dewasa ini berlanjut, dalam setengah abad ke depan dunia akan didominasi oleh China.
Naga baru yang kemajuan ekonominya mencengangkan itu pasti akan meluapkan kekuatannya menjadi ambisi-ambisi lain di luar ekonomi, tentu saja termasuk di bidang militer. China bisa berkonsentrasi, karena tak dirundung konfrontasi ini-itu.
Upaya AS membendung ambisi Cina dengan mendekati India – bekas lawan yang dulu mitra Uni Soviet – mungkin saja cukup efektif. Tapi tentu akan lebih efektif jika AS meredakan ketegangan yang tak produktif dengan dunia Islam.
Barrack Obama memang bukan hanya berbeda partai dengan George Bush. Kematangan emosional keduanya pun lain. Juga kenegarawanan, pemahaman sejarah, dan wawasan. Mudah-mudahan rakyat Amerika memilih dia sebagai "Presiden Dunia".
Home »
» Obama, Barat, dan Islam
Obama, Barat, dan Islam
Written By REDAKTUR on 18 February 2008 | 7:01 PM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment