Suatu pagi, di salah satu jalan di Ibu Kota Jakarta sudah penuh sesah dengan berbagai alat transportasi. Sepeda, motor, mobil, mikrolet, kowasi, metromini, kopaja, hingga bus berukuran besar. Terlihat pula di sampingnya, yakni di jalan khusus ada Bus Transjakarta.
Bim...bim...bim...Bunyi klakson saling bersautan. Seolah sebagai ungkapan si pengendaranya. Entah memang dari lubuk hati dan pikirannya atau sekedar latah atawa ikut-ikutan.
Belum lagi saling serobot antara pengguna jalan yang satu dengan lainnya. Seolah mereka tak mau kalah. Sepeda ingin otoritasnya sebagai yang paling lemah dihargai pengguna jalan lain. Sementara si motor juga demikian. Mereka ingin diberikan jalan agar pengendaranya bisa sampai tempat tujuan.
Terkadang ada yang lebih 'brutal'. Si roda tiga yang berukuran nanggung sering ikut nimbrung nyelip di sela-sela mobil pribadi yang tak mau kalah dengan pengendara lainnya.
Bus sedang seperti Metromini atau Kopaja juga pengen hasratnya terkabul. Selain cepat sampai, tentunya setoran pun keuber. Sedangkan bus besar, mentang-mentang badannya paling besar langsung main sruduk agar yang lain mau mengalah dan memberikan jalan kepadanya.
Di tengah keusregan pengguna jalan, nampak dengan lancar dan anteng di jalur khusus, bus Trans Jakarta. Meski kini ketenangan itu sempat diusik pengguna jalan lain seperti mobil pribadi atau motor, tapi bus Trans Jakarta masih bisa bernafas lega dibanding pengguna jalan lainnya.
Nah, gambaran jalan raya tadi sebenarnya kalau didalami mirip dengan kondisi politik di tanah air. Setiap politisi memiliki tujuan sendiri-sendiri mengapa ia memilih hidup sebagai politisi. Begitu pula partai politik, tentunya ada tujuan yang hendak dicapainya.
Ya, seperti pengguna jalan. Ada yang mengendarai dengan ugal-ugalan ada yang tertib. Para politisi pun memakai segala jurus agar maksud hatinya terlaksana.
Bus kota, seperti Metromini atau Kopaja yang ada beberapa oknum sopirnya ugal-ugalan di jalanan. Mereka tak peduli dengan para penumpang yang dibawanya. Kondisi ini bila di politik, seperti partai politik kecil. Si pemegang kendali partai bisa berbuat zig-zag guna memenuhi ambisi politiknya, dan tak peduli terhadap aspirasi para pendukungnya, apalagi masyarakat. Mereka yang berbuat demikian tentunya hanya mementingkan urusan partainya saja.
Begitu pula dengan bus besar. Mereka ada juga zig-zag dan ugal-ugalan di jalan raya dan si sopir yang tak peduli penumpangnya. Nah, bila diibaratkan partai politik, mereka ibarat partai politik besar. Apalagi bila partai politik besar itu yang katanya memikirkan para penumpangnya eh -keliru- rakyatnya, ternyata hanya mementingkan kursi jabatan. Keselamatan penumpang pun tak jadi jaminannya.
Mungkin kondisi kemacetan jalan di beberapa tempat di Jakarta adalah refleksi bagaimana kondisi rakyat ini, terutama para politisinya. Saling serobot untuk mengejar tujuan pribadinya. Semoga kemungkinan ini salah, dan rakyat pun terselamatkan.
Home »
» Kondisi Jalan Raya Cermin Demokrasi Kita?
Kondisi Jalan Raya Cermin Demokrasi Kita?
Written By REDAKTUR on 25 February 2008 | 8:59 PM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment