oleh Dzikrullah*
Oxford dan Cambridge adalah simbol penting pendidikan di Inggris. Bangunan-bangunan asrama, gedung universitas dan kapel-kapel (gereja kecil) dari abad ke-13 sebagian masih bisa dilihat sampai sekarang, diperkaya bangunan-bangunan berdesain ultra-modern. Kotanya cantik dengan sungai dan taman-taman yang luas diselingi colleges yang menjadi jantung utama kedua kota itu. Oxbridge, begitu biasa disingkat-- jadi pusat riset ilmu dan teknologi yang menyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak peraih penghargaan Nobel beralmamater di kedua kota ini. Namanya juga sangat bergengsi. Madinah merupakan kota pendidikan yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman, ilmu, amal, dan jihad.
Di Oxbridge seorang profesor bisa sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan "aqidah, akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Dalam sejarahnya, Oxbridge mengalami beberapa ketegangan dengan gereja, isunya beragam, tapi dasarnya sama: yaitu jika pengembangan ilmunya dianggap bertentangan dengan doktrin Kristen. Ketegangan itu baru reda setelah "gereja tahu diri" dan membatasi perannya di altar dan mimbar khotbah saja, tidak merambah ke ilmu pengetahuan. Gereja terpaksa mensekulerkan dirinya agar tidak seratus persen di buang dari masyarakat Oxbridge, bahkan lebih luas lagi dari masyarakat Barat.
Sebaliknya, Madinah, Damaskus, dan Baghdad bersuka cita memetik butir-butir mutiara sains yang diberikan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new branches of knowledge) di bidang astronomi, fisika, kedokteran, biologi, matematika, ekonomi, sastra, teknologi perang, sampai filsafat dijabarkan terus tanpa henti oleh para ulama. Mereka hafal Al-Qur'an, hafal ribuan hadits, beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti para shahabat, pada saat yang sama mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari semua yang diimani dan diamalkan itu. Inilah yang disebut oleh para ulama, "Orang Barat bisa maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan Muslimin hanya akan maju jika ia mendalami agamanya."
Semuanya berawal dari Madinah. Sebuah kota pendidikan yang lengkap dan suci. Ada Rasul yang ma'shum dan cerdas, ada masyarakat shahabat yang militan dan berakhlaq mulia, ada masjid yang makmur dan buka 24 jam, dan yang terpenting ada wahyu Allah Subhaanahu wa ta'ala yang turun terus-menerus selama 10 tahun. Kota Madinah yang sederhana itulah yang kemudian menginspirasi Damaskus, Baghdad, Cordova, dan Istambul menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.
Di mana lagi ada tempat sehebat itu? Sebuah kota di mana para ayah dengan tenang meninggalkan isteri-isteri dan anak-anaknya selama berbulan-bulan --bahkan tahunan untuk berda' wah, berdagang, dan berjihad ke penjuru-penjuru benua. Para ayah itu yakin, Madinah akan mendidik isteri dan anaknya menjadi manusia-manusia unggulan.
Coba kita bayangkan, di rumahnya anak-anak itu punya ibu yang hafizhah Qur'an dan hadits serta terjaga kehormatannya oleh syari'ah. Di masjid, anak-anak itu akan bertemu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam dan para shahabat utama. Adakah ustadz yang lebih baik dari mereka? Di pasar, di ladang, mereka berjumpa dengan para shahabat, juga kaum munafiq dan Yahudi sebagai bandingan nyata.
Pertanyaan kita sekarang, berjuta-juta uang yang kita keluarkan untuk biaya sekolah anak-anak kita, apakah semua itu mengantarkan anak-anak kita ke suasana berkah Madinah atau lebih dekat ke suasana sekular Oxford dan Cambridge? Cara pertama untuk mengukurnya sangat sederhana. Ruh Madinah adalah tauhid. Maka out-put sekolah a la Madinah yang paling mudah dideteksi adalah tauhid uluhiyah, yakin akan kemahakuasaan Ilahi yang mutlak tak berbatas, berdasarkan pengalaman langsung sehari-hari. Tidak ada rasa takut selain kepada Allah, tak ada rasa cinta selain karena Allah, tidak ada rujukan utama selain Allah, tidak ada cita-cita selain menuju Allah.
Jika sekolah-sekolah kita sekarang menghasilkan anak-anak yang cemas jika mereka tak punya ijazah, cemas jika tak masuk perguruan tinggi, takut jika mereka kelak susah cari kerja, maka sekolah-sekolah kita gagal total. Sekolah-sekolah kita harus menghasilkan remaja-remaja berotak-berhati-berjasad Al-Qur'an, yang siap dikirim kemana saja untuk berda'wah dan menaklukan sebuah negara dengan kepakaran komprehensif demi Liila‘i likalimatillahiyal ˜ulya, menegakkan kalimat Allah yang tinggi. Itulah yang dihasilkan Madinah.
Kalau sekolah-sekolah kita mendesain kurikulumnya untuk menghasilkan pekerja, dokter, pengacara, peneliti, karyawan, manajer, CEO, politisi dan berhenti sampai di situ, sekolah kita gagal. Meskipun sekolah kita bernama Islami. Thariq bin Ziyad Radhiallaahu anhu itu budak. Namun ia dididik oleh sekolah Madinah menjadi panglima penakluk. Cobalah kita tanya seorang lulusan --maaf, perguruan tinggi Islam paling terkemuka di negeri ini IAIN alias UIN-- bisakah kau pergi ke Singapura sekarang, berda'wah, taklukkan, dan jadilah gubernur yang menegakkan syari'ah di sana?
Apa kira-kira jawaban mereka? Tebak sendiri. Lalu, sekarang bagaimana? Meneruskan mimpi tentang Madinah? Jangan. Kita harus mengubah cara kita memandang pendidikan anak-anak, dan yang pertama kali harus diubah ialah cara hidup kita. Pergi cari duit sejak subuh baru pulang malam, nanti akhir pekan sedikit-sedikit memberi kehangatan kepada anak, dan menyerahkan segalanya kepada sekolah adalah cara terbaik untuk menghancurkan anak kita.
Hentikan semua kesibukan yang tidak perlu, pusatkan di rumah. Silakan buka bisnis sendiri, tapi tugas utama kita adalah menjadi kepala sekolah dan guru bagi anak-anak kita. Jangan merasa cukup dengan ngaji seminggu sekali, kembangkan terus kapasitas kita secara ruhiyah, aqliyah, jasadiyah pelan-pelan mendekati standar para shahabat. Berdoalah sungguh-sungguh, minta kepada Allah bagaimana jalan terbaik mendidik anak-anak kita dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan di pengadilan Akhirat.
Bikinlah program yang sama seriusnya dengan program sekolah konvensional, tetapi laksanakanlah kepada anak-anak dengan cara yang lebih menyenangkan dari pada tamasya ke manapun. Bersilaturrahim lah dengan sahabat kita yang sepemikiran.
Sekolah Rumahan alias home-schooling? Kenapa tidak? Masyarakatnya kini sudah semakin banyak. Pemerintah juga sudah memudahkan lewat program Kejar Paket A-B-C, ijazahnya sama. Di Internet, bahan belajar Sekolah Rumahan ribuan jumlahnya dari Muslimin Inggris dan Amerika Utara. Jadikan masjid di dekat rumah kita sebagai markas untuk mendidik masyarakat dewasa dan anak-anak seperti Madinah. Bicarakan hal ini dengan pengurusnya.
Pilihan lain apa? Ya kirim saja anak-anak kita ke sekolah-sekolah konvensional, negeri maupun swasta, yang biasa maupun yang terpadu. Bayarlah berjuta-juta. Saya tidak mengatakan sekolah merupakan sesuatu yang buruk 100%. Yang ingin saya sampaikan, sebuah sekolah akan menuju arah yang benar jika terus dikembangkan menjadi community-based education sebagaimana Madinah.
Jika sekolah tidak semakin menyatu baik secara jasad maupun ruhiyah dengan masjid, dengan ayah dan ibu, dan dengan para tetangga, yang kemudian bersama-sama membangun kekuatan jama'ah Islam, maka sekolah itu --mohon maaf-- sudah salah alamat. Inilah alat ukur kita sebagai orang tua untuk memilih sekolah. Apakah sekolah itu semakin menyatu dengan masjid, ayah-ibu anak-anak, dan lingkungan bertetangganya untuk membangun kekuatan ummatan wahidan? Apa yang tertulis di brosur dan di kenyataan lapangan harus kita cek benar-benar. Jika tidak, mendingan bikin sekolah sendiri di rumah sekreatif mungkin. Gunung Tembak-nya Allaahu yarham Ustadz Abdullah Said (pendiri Pesantren Hidayatullah) sebenarnya dibangun untuk semangat itu.
Namun, melihat kecenderungan trend sekolah Islam dan sekolah Islam Terpadu lainnya masih jauh dari harapan itu. Sebab kenyataannya, sekolah-sekolah itu masih menyatukan orang-orang berduit cukup dari berbagai kalangan, namun sebaliknya meminggirkan sebagian besar komunitas internal sendiri. Sesuatu yang terjadi di beberapa jama'ah da' wah lain di negeri ini. Abu Bakr Gallego, kawan saya yang budayawan Spanyol di Damaskus, menyentak saya dengan sebuah pernyataan, "Kalau ingin anak Anda jadi orang yang tidak meyakini mutlaknya kebesaran Allah di sepanjang sisa hidupnya, karena cemas oleh hal-hal selain Allah, caranya gampang. Kirim dia ke sekolah dan biarkan dia rajin nonton televisi."
* Penulis adalah wartawan dan guru madrasah
Sumber : www.hidayatullah.com
Home »
» "Oxbridge"
"Oxbridge"
Written By REDAKTUR on 17 November 2006 | 2:27 AM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment