Home »
» Reformasi Sepakbola Indonesia Memang Berat....
Reformasi Sepakbola Indonesia Memang Berat....
Written By REDAKTUR on 16 October 2011 | 7:32 PM
Mendadak saya selalu intens memperhatikan perkembangan sepakbola di negeri ini. Entah latah atau tidak, tapi saya memang benar-benar penasaran. Sehari kalau tidak membuka berita tentang bola, rasanya kurang afdhol.
Sepakbola di negeri kita hampir sepuluh tahun belakangan minim prestasi. Tak jarang ada yang menyebut malah menjadi ajang politik demi kepentingan bisnis dan pribadi tertentu.
Tentu masih hangat dalam ingatan kita bagaimana tim nasional saat berlaga di Piala AFF 2010 bertandang ke kediaman ketua umum partai politik tertentu. Sontak, beberapa pihak pun mencibirnya, dan menganggap Ketua Umum PSSI waktu itu dan kebetulan juga dia adalah terafiliasi dengan partai itu mempolitisasi sepakbola tanah air.
Publik bola di tanah air sejatinya sudah berharap tim nasional kebanggaan mereka mengukir prestasi, namun apa daya hasil berbeda. Indonesia tak juara setelah kalah agregat dari Malaysia 2-3. Setelah kekalahan ini malah ada kabar tak mengenakkan ketika seseorang bernama Eli Cohen yang mengaku sebagai pegawai ditjend pajak di Kementerian Keuangan mengadukan via emal ke Presiden SBY soal adanya dugaan persekongkolan untuk menjual martabat harga diri bangsa dan negara demi keuntungan materi semata.
Masyarakat yang kecewa pun bertambah masygul dan jengah dengan kepemimpina PSSI waktu itu, dan desakan untuk melengserkan petinggi organisasi sepakbola tertinggi di Indonesia kian kencang. Akhirnya setelah Kongres Luar Biasa PSSI di Solo, Jawa Tengah, Prof. Djohar Arifin Husein terpilih menjadi Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.
Meski seorang dosen dan Staf Ahli Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Djohar merupakan mantan pemain sepakbola PSMS Medan (1973-1976), wasit nasional dan internasionial (1976-1987), Manajer Timnas Yunior ke Kejuaraan Asia di Bangkok 1994, dan sederet aktivitas sepakbola lainnya. Harapan untuk adanya perubahan pun tertumpu padanya.
Organisasi PSSI di bawah kepemimpinan Djohar dibayang-bayangi oleh beberapa warisan permasalahan era sebelumnya. Mulai dari hutang ke hotel-hotel hingga persoalan klub anggota PSSI yang berkompetisi di liga profesional yang masih menggunakan APBD.
Persoalan liga yang secara bisnis begitu menggiurkan karena di sana ada pendapatan yang luar biasa dari iklan, hak siar pertandingan, tiket penonton,dan pendapatan lainnya. Seorang teman yang cukup dekat dengan petinggi PSSI waktu itu maupun perusahaan yang menjalankan liga profesional berujar, beberapa orang yang sudah keasyikan dengan liga profesional tentu tak akan rela lahan basahnya diambil orang lain. Semua pihak baik itu pebisnis atau penjudi sekalipun berkepentingan dengan liga itu.
Sontak, setelah kepengurusan PSSI baru berjalan dan berniat untuk menggulirkan liga profesional dan memutuskan untuk menerapkan aturan AFC tentang keprofesionalitasan klub, yakni mulai dari aspek legal klub hingga financial, banyak pihak yang resisten dengannya. Klub-klub profesional yang selama ini dimanjakan oleh APBD tentunya belum terbiasa dengan aturan itu dan entah sengaja ataukah tidak ada suara-suara sumbang seiring dengan pelaksanaan aturan AFC itu.
Verifikasi PSSI dan AFC pun telah dilaksanakan. Seiring dengannya liga profesional digulirkan per 15 Oktober lalu. Namun, sebelum liga ini digulirkan banyak pihak yang menentang soal jumlah klub peserta liga yang jumlahnya 24 tim. Pertentangan ini semakin meruncing setelah adanya pertemuan petinggi (League Club’s CEO Pre Season General Meeting)tim di Jakarta sebelum liga profesional level 1 digulirkan.
Ada yang menyebut, peristiwa ini diskenariokan agar liga profesional era kepemimpinan Djohar Arifin tak bergulir tepat waktu dan pengelolaan liga oleh PT Liga Prima Indonesia Sportindo tak berjalan. Bayang-bayang kekuatan lama ditengarai oleh sejumlah pihak cukup kentara dalam proses penolakan itu.
Memang cukup beralasan bila ada sejumlah pihak yang mempertanyakan soal pertentangan dan suara-suara miring seputar kepemimpinan Djohar dan bergulirnya liga profesional level 1 (Indonesian Premier League). Apalagi kalau kita "googling" suara orang-orang yang mempertentangkan itu di era kepengurusan PSSI sebelum Djohar. Mereka tak ada yang bersuara nyaring meskipun kepengurusan Nurdin Halid ditentang banyak pihak.
Sebuah grup perusahaan besar yang belakangan banyak membelanjakan dananya untuk membeli klub sepakbola ditengarai masih berkepentingan dengan liga profesional di Indonesia. Liga yang secara bisnis cukup menjanjikan ini tentunya menjadi incaran banyak pihak.
Namun, kita, sebagai masyarakat yang awam terhadap politik dan hanya cinta terhadap sepakbola tanah air tentunya mengharapkan agar jangan sampai elite politik ataupun elite pebisnis bermain di balik kekurangharmonisan sepakbola beberapa waktu terakhir ini. Rakyat hanya butuh prestasi membanggakan dari Tim Nasional Republik Indonesia, dan klub-klub kesayangan mereka. Mereka tak butuh janji manis dan omong besar para elite politik maupun pebinsis saat ini.
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
1 komentar:
Rata-rata klub yang membelot utk Kompetisi IPL itu merupakan klub yang dibayang-bayangi oleh Grup Bakrie. Pelita Jaya, Deltras Sidoarjo, Persebaya versi WW, Persisam, maupun Arema versi Rendra.
PT LI juga dalam bayang-bayang Grup itu, dan tentunya partai politik warna kuning.
So, kelihatan siapa sejatinya yang ingin menghancurkan persepakbolaan di Indonesia.
Maju terus sepakbola Indonesia, reformasi masih panjang. Jangan hiraukan mereka yg mengatasnamakan klub, tapi ternyata ingin menghancurkan persepakbolaan Indonesia.
Post a Comment