
Hidup di Gerobak bukan pilihan, tapi bagian dari 'misteri' alur dan riak kehidupan. Rumah Usman cuma gerobak, tapi itu istana bagi anak-anaknya. Lihat dong ceria anak-anak itu!
Semua orang pernah berhadapan dengan sesuatu yang sulit, begitu juga dengan Usman. Dia pun tak sanggup bayar kontrakan, akhirnya walau berat Usman bersama istri dan lima anaknya memilih hidup nomaden di gerobak.
Setiap malam suami istri ini menyisir jalan mencari barang bekas, sementara anak-anak mereka pulas berhimpitan di dalam gerobak.
Jumat (22/7/2011) pagi, di sisi jalur lambat Jalan Kayu Putih, Jakarta Timur, ada gerobak biru ‘parkir’. Dua bocah kecil sedang membaca buku lusuh di sisi gerobak beralas kardus.
Dengan santai seorang pria berkopiah, sambil memangku balita, mengajari dua bocah itu.
Di dalam gerobak ukuran 1 x 2 meter ada dua gadis kecil lain sedang rebahan. Tangan mereka memegang buku bacaan. Tidak jauh dari gerobak beratap plastik itu seorang wanita berpakaian lusuh sedang menyapu jalan.
Pria berkopiah itu bernama Usman, usia 47 tahun. Bocah-bocah itu anaknya, dan wanita penyapu jalan itu Kartem (36), istrinya. Sudah lebih dari setahun mereka hidup nomaden di atas gerobak.
“Tadinya cuma tiga yang saya bawa. Anak nomor satu dan nomor dua sekolah di kampung. Sekarang nggak ada biaya lagi, semuanya ikut di gerobak,” ujar Usman.
Cara hidup keluarga Usman ini biasanya disebut ‘manusia gerobak’. “Terserah orang mau nyebut apa, manusia gerobak atau apa. Sekarang saya sedang susah yang penting bisa makan dengan cara halal,” ujar Usman.
Awal 2011, Usman harus nganggur. Pria kelahiran Kalisapu, Cirebon ini tidak bisa melaut lagi sebagai nelayan, lantaran bos pemilik kapal bangkrut. “Modal ke laut gede, hasilnya makin sedikit. Kapalnya dijual, saya jadi nganggur,” kisah pria berkulir gelap ini.
Usman ‘hijrah’ ke Jakarta karena ajakan teman. “Dia bilang enak jadi pemulung di Jakarta. Bisa numpang tidur di lapak,” tuturnya menceritakan saaty pertama datang ke Jakarta.
Karena tertarik, Usman membawa, istri dan tiga anaknya ke Jakarta. Sementara putri sulung dan adiknya, tetap sekolah di kampung bersama neneknya.
Setelah resmi jadi pemulung, Usman menempati satu ruangan kecil dari beberapa ruangan kayu milik bos pengepul barang bekas.
Empat bulan tinggal bersama pemulung lain di gubuk ‘laskar mandiri’, Usman mulai tidak betah.
“Saya tidak cocok dengan teman yang lain. Mereka cari uang, tapi caranya kurang bagus. Mereka nggak cuma ambil barang bekas, tapi maling. Saya milih keluar dari sana,” ungkapnya.
Usman sadar dengan resiko tidak ada tempat tinggal jika keluar dari base camp itu. “Saya sudah sepakat sama istri tinggal di gerobak saja. Lebih baik seperti ini dari pada setiap hari melihat kelakuan mereka,” paparnya.
Buat keluarga ini, tinggal di gerobak atau di gubuk yang terbuat dari triplek dan kardus bekas nyaris tidak ada bedanya. “Sama-sama nggak enak. Gubuknya kan dari triplek, kasurnya dari kardus. Di gerobak juga kasurnya kardus,” kelakar Usman.
Dekat Air
Sudah satu bulan ini dua putri datang dari kampung. “Yang gede sudah lulus SD, adiknya kelas tiga. Sekarang ikut saya, sekolahnya berhenti dulu, nggak ada uang. Kasihan neneknya juga susah di kampung,” keluh Usman.
Usman yang hanya tamatan SMP ini tidak ingin anak-anaknya putus sekolah. Namun nasib berkata lain.
Pria kekar ini yakin suatu saat nanti anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah. “Biar nggak lupa sama pelajarannya, setiap pagi mereka baca-baca lagi bukunya. Adiknya yang belum sekolah ikut diajari baca,” paparnya.
Sejak pagi hingga petang, aktifitas keluarga ini tidak jauh-jauh dari gerobak yang diparkir di sisi jalan. Mereka menggelar kardus bekas di atas tanah berumput. “Kalau siang saya cari tempat yang dekat dengan air, dekat kantor polisi, pom bensin, atau masjid. Biar gampang kalau mau mandi atau wudhu,” terang Usman.
Yanti (12), putri sulung Usman yang belum sebulan tinggal di gerobak mengaku tidak betah. Maklum selama ini dia hidup ‘normal’ bersama neneknya di kampung. “Nggak ada teman, setiap hari di gerobak terus,” ujarnya sambil mengelus rambut adik bungsunya yang sejak lahir sudah hidup digerobak itu.
Selepas Isya, semua anak Usman masuk ke dalam gerobak. Badan kekar pria bersahaja itu langsung menarik gerobak melintasi jalan. Terkadang istrinya ikut mendorong dari belakang jika jalan menanjak atau berlubang.
Tidak sampai jam sepuluh malam, kelima anaknya itu sudah lelap dibuai mimpi. Mereka tidur berhimpitan mirip ikan sarden dalam kaleng. Kardus bekas dan kain lusuh melindungi tubuh-tubuh mungil itu dari dinginnya malam.
Usman terus menarik gerobak, sementara istrinya mengikuti sambil memunguti botol dan gelas plastik bekas air mineral yang berserakan di jalan. Pada titik-titik tertentu, Usman meninggalkan anak istrinya untuk mencari barang bekas.
“Kalau masuk jalan-jalan kecil, gerobaknya nggak bisa ikut, susah jalannya. Saya yang mulung pakai karung. Kadang gantian, saya yang nunggu gerobak, istri saya yang mulung,” ungkap Usman.
Hampir setiap malam, keluarga ini mengitari jalur Kayu Putih hingga ke Senen dan kembali lagi. “Kalau capek istirahat dulu, terus dilanjutin lagi sampai subuh. Ya begitu aja setiap hari. Siang ada di sini, malem muter cari rongsokan,” papar Usman.
Kasihan Anak
Berdasar pengalaman, menurut pria ini, semua pemulung setiap harinya dapat uang tidak lebih dari seratus ribu. “Saya sudah alami dan tanya ke yang lain.
Penghasilan kita antara dua puluh sampai tujuh puluh ribu sehari,” papar Usman yang sering juga diberi uang oleh orang yang iba melihat kondisi keluarganya.
Karena penghasilannya tidak menentu, jadwal makan keluarga ini pun tidak pasti. Kadang sehari bisa dua kali, tapi lebih sering hanya sekali. “Saya sudah biasa puasa karena nggak ada uang. Yang penting anak-anak bisa makan meski cuma sekali,” kisahnya.
Usman dan Kartem pantang menyuruh anak-anak mereka ikutan mencari barang bekas. Mereka beranggapan, kondisi ini terjadi karena ketidakmampuan mereka. “Biar saya sama suami aja yang susah. Anak-anak nggak boleh ikut capek,” ujar Kartem.
Meskipun hidup di gerobak, sepintas anak-anak itu tetap ceria. Agus (4), anak keempat Usman cukup lincah naik turun gerobak. Sesekali dia bergelantungan di bambu penyangga atap gerobak. Hanya itu caranya bermain.
Kehadiran gerobak Usman kawasan Kayu Putih itu menjadi pemandangan kontras di antara rumah-rumah megah di sekitarnya.
Mata sayu Yanti sering merekam aktifitas sebuah sekolah swasta yang tidak jauh dari gerobak biru milik ayahnya. “Saya mau sekolah lagi,” gumam gadis kecil itu.*ara/fon
SUMBER : www.jakartapress.com
0 komentar:
Post a Comment