Random Post

.
Home » » Pers, Merdeka Tapi Bertanggung Jawab

Pers, Merdeka Tapi Bertanggung Jawab

Written By REDAKTUR on 09 February 2010 | 5:57 PM


Dunia pers di Indonesia sudah semakin maju. Tak hanya diberikan keleluasaan dalam menjalankan aktivitas jurnalistik, pers juga sudah dianggap sebagai pilar kelima demokrasi.

Setidaknya itu bisa disimak dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Hari Pers kemarin di Palembang, Sumatera Selatan (9/2).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengingatkan pers untuk mendukung terbangunnya demokrasi yang berorientasi dari dan untuk rakyat. Pers diyakini sebagai salah satu elemen yang mempunyai kekuatan di negeri ini dan perlu menggunakan kekuatan itu secara konstruktif.

Presiden menekankan bahwa demokrasi yang ingin dicapai di negeri ini mestilah demokrasi yang benar-benar bertumpu pada rakyat, bukan berpusat pada negara, dan bukan pula demokrasi yang berpusat pada media massa.

”Di banyak negara ada fenomena yang disebut media-centered democracy. Ahli komunikasi politik mengatakan, kalau itu menjadi mazhab baru dalam demokrasi, itu juga bisa merintangi. Kita dengan sadar tidak menuju ke situ. Kita menuju people-centered democracy, peran pers juga mesti menuju ke situ,” ujarnya.

Presiden juga menilai, saat ini pers memegang surplus kekuasaan. Karena itu, amat penting untuk memastikan kekuasaan media itu digunakan secara tepat dan konstruktif. Pada masa lalu, sebagai lembaga eksekutif, presiden juga pernah memegang surplus kekuasaan. Namun, melalui amandemen undang-undang dasar, kekuasaan presiden itu sudah dilucuti.

”Pers bisa memilih, menentukan, membatasi dalam keadaan apa power yang surplus itu digunakan dengan baik, untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Presiden.

Menurut Presiden, kekuasaan kerap mempunyai kecenderungan untuk menyimpang. Karena itu, mekanisme checks and balances perlu selalu diterapkan, tidak terkecuali bagi pers.

Pada kesempatan itu, Presiden juga menyampaikan apresiasi kepada pers di Indonesia yang kini tengah menata sendiri tata nilainya dalam kehidupan demokrasi. Hal itu antara lain tecermin dengan mulainya diratifikasi standar perusahaan pers, standar kompetensi wartawan, kode etik jurnalistik, dan standar perlindungan wartawan. Ratifikasi standar, menurut Presiden, adalah bagian dari upaya pers menerapkan sensor sendiri.

”Ada teori batas kepatutan. Dewan Pers sendiri yang bisa menentukan batas itu. Ada istilah bahasa menunjukkan bangsa, silakan diaplikasikan dalam kehidupan pers,” ujar Presiden.

Sebelum menyampaikan pesannya untuk pers Indonesia, Presiden juga memberikan kuliah perdana bagi siswa yang mengikuti program Sekolah Jurnalistik Indonesia di Palembang. Presiden menekankan, Indonesia telah lulus mengatasi dua ujian di masa lalu dan mesti siap menghadapi ujian di masa depan.

Ujian pertama adalah krisis 1998 dan pelaksanaan agenda reformasi yang penuh tantangan pada tahun-tahun berikutnya. Adapun ujian kedua ialah krisis yang mengguncang dunia pada 2008-2009.

Begitu buruknya dampak krisis 1998 sehingga Indonesia pernah diramalkan akan tercerai-berai dan runtuh. Namun, Indonesia terbukti mampu bertahan, perekonomian menjadi lebih kuat, stabilitas politik terbangun, dan agenda reformasi dapat dijalankan meski belum selesai.

Belajar dari krisis 1998, Indonesia menjadi lebih siap ketika dunia kembali diguncang krisis pada 2008-2009. Presiden Yudhoyono mengingatkan, dunia internasional pun memandang Indonesia telah mengambil langkah-langkah kompeten dalam merespons krisis 2008-2009.

”Apakah lima tahun mendatang takkan ada lagi krisis. Kita tidak tahu, tetapi harus selalu siap. Jadi, mari satukan energi bangsa. Bangun lingkungan dalam negeri yang kondusif, politik harus stabil, demokrasi harus jalan, situasi sosial baik, dan hukum ditegakkan,” ujar Presiden.

Pada puncak peringatan HPN 2010 itu, Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring juga menyampaikan imbauan agar media massa lebih menjaga keseimbangan dalam penyampaian informasi kepada publik.

Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono menjelaskan, HPN 2010 diperingati dengan sejumlah kegiatan, antara lain ratifikasi standar perusahaan pers, standar kompetensi wartawan, kode etik jurnalistik, dan standar perlindungan wartawan oleh 18 perusahaan pers nasional.

Pada peringatan HPN 2010, PWI juga memberikan penghargaan Kartu Pers Nomor 1 kepada 80 wartawan dan tokoh pers, di antaranya Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Herawati Diah, Dahlan Iskan, Pia Alisjahbana, Karni Ilyas, Ishadi SK, dan Tarman Azzam. Selain itu, diberikan pula penghargaan Karya Jurnalistik Adinegoro, Penghargaan Anugerah Spirit Jurnalisme, Penghargaan Pena Emas, dan Medali Emas Kemerdekaan Pers.

Perlu agenda

Pada kesempatan terpisah, terkait dengan pesan Presiden kepada pers, pengamat politik, J Kristiadi, menegaskan, media perlu selalu mencermati isu pokok dan menjalankan agenda sendiri untuk mendorong perbaikan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Agenda utama yang paling krusial dijalankan pers, menurut Kristiadi, adalah berperan mengurangi politik uang yang sistemik dalam proses pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, hingga pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia.

Agenda lain yang mesti dijalankan pers adalah turut membangun peradaban bangsa yang berkualitas. ”Mengharapkan partai memberi pendidikan politik kepada rakyat sampai sekarang ini masih seperti menggantang asap. Jadi, peran pers sangat diharapkan,” ujar Kristiadi.

Ketua Umum Perhimpunan Jurnalis Indonesia Ismed Hasan Putro menilai, kemerdekaan pers merupakan keniscayaan yang tak terbantahkan.

Di Palembang sekelompok mahasiswa berunjuk rasa menyambut kedatangan Presiden. Aksi terkait kasus Bank Century itu pun dibubarkan polisi. Selain itu, sekelompok massa juga berdemo mendukung pemerintahan SBY-Boediono.
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger