
Sengketa pemilihan presiden itu tuntas sudah. Para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa gugatan pasangan Megawati Soekarnoputri –Prabowo Subianto dan pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto ditolak.
"Eksepsi termohon tidak dapat diterima. Menolak permohonan terpohon satu dan dua (JK-Mega)," kata Mahfud MD.
Keputusan itu dibacakan oleh para hakim mahkamah itu Rabu 12 Agustus 2009 sore. Pembacaan keputusan ini tidak dihadiri oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang mengajukan gugatan.
Gugatan ke mahkamah itu diajukan dua pasangan itu dua pekan lalu. Sejumlah tumpukan bukti yang mereka ajukan antara lain pengelembungan suara secara besar-besaran di sejumlah tempat yang diduga menguntungkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.
Selain itu kubu Megawati dan Prabowo juga mempersoalkan kesemrawutan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilihan presiden yang digelar 9 April lalu. Sejumlah kesemrawutan itu antara lain banyaknya pemillih ganda, banyaknya pemilih yang tidak tercatat, dan banyak anak remaja dan orang yang sudah meninggal yang menjadi pemilih.
Berkurangnya jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga menjadi alasan gugatan pasangan Mega-Prabowo. Kubu ini mengklaim 69.000 TPS dihapuskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Perhitungan suara oleh komisi pemilu juga digugat oleh kubu Megawati. Mereka, misalnya, mengklaim bahwa sekitar 28 juta gelap dalam pemilihan presiden. Masih dalam proses perhitungan suara itu, tim Mega juga memperkarakan keterlibatan lembaga asing (IFES) dalam perhitungan elektronik yang digelar KPU.
Tim kuasa hukum Mega-Prabowo menilai bahwa semua temuan di atas berhulu dari kesengajaan KPU untuk membiarkan kecurangan terjadi, yang pada muaranya merugikan Megawati dan Prabowo.
Dasar gugatan pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto kurang lebih sama. Kubu ini mengklaim sudah menemukan jutaan pemilih ganda di seluruh provinsi. Pelanggaran ini telah mengurangi makna kejujuran dan keadilan dalam pelaksanaan Pemilihan Presiden.
Kubu JK-Wiranto mengklaim memiliki 55 bukti pelanggaran atau kecurangan selama pelaksanaan Pemilihan Presiden. Semua pelanggaran itu menyebabkan pasangan ini kehilangan suara sebesar 24.150.000.
KPU sebagai tergugat dalam perkara ini juga telah menjelaskan bahwa semua proses Pemilihan Presiden itu. Mereka sudah membantah semua tuduhan itu. Intinya, menurut komisi itu, pemilihan presiden sudah sesuai aturan main.
Tak Ada Pelanggaran Massif dan Terstruktur
Sidang sengketa Pemilu Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak terbukti adanya kecurangan secara massif dan terstruktur dalam pelaksanan pemilu presiden (Pilpres). Hal itu berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan di persidangan.
"Menurut Mahkamah tidak terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan massif," kata majelis hakim MK, Maria Farida Indrati, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Agustus 2009.
Putusan Mahkamah itu berdasarkan fakta bahwa tidak terkonsentrasinya kecurangan. Selain itu, juga tidak signifikannya suara kecurangan untuk memperoleh hasil pemilu.
"Apalagi sebagiannya sudah diselesaikan secara hukum maupun pidana, baik pidana maupun administrasi," ungkap Maria membacakan putusan sengketa pilpres yang diajukan capres Megawati dan Jusuf Kalla.
Kubu Megawati pernah menyatakan, manipulasi Daftar Pemilih Tetap terjadi secara sistematis dan berskala luas. Karena sistematis, maka hanya pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri yang bisa melakukannya.
"Dimulai dari pertama, penyusunan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu yang dilakukan oleh pemerintah," kata Sudiatmiko Ariwobowo, Tim Hukum & Advokat Badan Pemenangan Pemilu PDIP Jawa Timur di gedung parlemen, Selasa 24 Maret 2009.
Pengurangan TPS Tidak Berpengaruh
Sidang sengketa Pemilu Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak termasuk tindakan pelanggaran hukum. Karena pengurangan TPS itu sudah sesuai dengan undang-undang.
"Bahwa pengurangan TPS tidak termasuk pelanggaran melawan hukum. Sesuai dengan UU yang memungkinkan setiap TPS maksimal 800 pemilih di tiap TPS," kata anggota majelis hakim MK, Ahmad Sodiki, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Agustus 2009.
MK memutuskan, pengurangan itu bukan semata-mata menghilangkan sekitar 69 ribu TPS. Kalaupun benar, Ahmad melanjutkan, maka belum tentu akan menguntungkan salah satu pasangan.
"Termohon juga telah melakukan re-grouping pemilih. Pemohon 1 dan 2 tidak bisa membuktikan pengurangan TPS itu telah merugikan dirinya. Dengan demikian dalil pemohon yang membandingkan jumlah TPS Pileg dengan Pilpres adalah tidak berdasar secara hukum," ujar Ahmad membacakan salinan putusan.
Kubu Megawati-Prabowo mempermasalahkan pengurangan 69.000 TPS yang dilakukan KPU. Karena, pengurangan itu membuat pasangan Mega-Prabowo kehilangan banyak suaranya.
"Tetapi di Pilpres setelah TPS dikurangi kami tidak mengetahui sama sekali TPS mana yang dikurangi, dan siapa saja yang memilih," kata ketua tim advokasi Mega-Prabowo, Arteria Dahlan, Selasa, 28 Juli lalu.
0 komentar:
Post a Comment