
Keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus semburan lumpur panas Lapindo oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur pada 5 Agustus 2009, memunculkan pertanyaan: siapa yang bertanggung jawab dalam kasus ini?
Padahal, digelarnya sebuah persidangan tidak hanya bertujuan untuk memutus siapa yang bersalah, namun juga bertujuan agar masyarakat umum secara terbuka mengetahui bagaimana (how) dan siapa (who) yang memicu semburan lumpur panas di blok Brantas ini.
Seperti diketahui, lumpur panas itu telah menenggelamkan permukiman penduduk, daerah pertanian dan perindustrian di tiga kecamatan, yakni Tanggulangin, Porong, Jabon, dan sekitarnya. Ribuan penduduk terusir dari tempat tinggalnya, ribuan pekerja kehilangan mata pencahariannya.
Tak terhitung kerugian perekonomian di Jawa Timur akibat semburan lumpur panas ini sejak Mei 2006. Sejak itu, per Oktober 2007, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) telah membuat area bertanggul seluas 400 hektare dari 625 hektare kawasan yang dinyatakan berdampak.
SP3 Tidak Tepat
Pihak kepolisian, dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) memang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan SP3. Namun penerbitan ini tidak tepat karena dua alasan pokok. Pertama, tidak ada alasan hukum rasional yang mendasari keputusan ini. Kedua, SP3 yang ecek-ecek ini telah menutup jalan bagi pengungkapan kebenaran di balik terjadinya semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur.
Dua alasan utama yang diajukan Polda Jatim di balik penerbitan SP3, seperti diberitakan media, yaitu, pertama, ketidakmampuan memenuhi petunjuk kejaksaan agar dapat meneruskan proses hukum selanjutnya. Kedua, putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan yang menolak gugatan perbuatan melawan hukum Lapindo, yang diajukan YLBHI, sebagai lembaga perjuangan hak asasi manusia dan WALHI, sebagai organisasi lingkungan hidup.
Alasan-alasan tersebut jelas tidak tepat. Memang, KUHAP memberikan kewenangan pada penyidik untuk mengadakan penghentian penyidikan. Namun, KUHAP dengan tegas mengatur penghentian penyidikan hanya dapat dilakukan berdasar dua alasan pokok: demi tegaknya hukum dan keadilan.
Kabarnya, jaksa meminta meminta penyidik memberikan korelasi antara titik pengeboran dan titik semburan lumpur yang memiliki radius 150 meter. Selain itu, tentang posisi mata bor yang masuk atau berhubungan dengan tempat titik semburan lumpur. Hal inilah yang tidak mampu dilengkapi pihak kepolisian.
Petunjuk Jelas dan Terang
Dalam KUHAP, petunjuk bermakna perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Semua sepakat bahwa telah dilakukan pengoboran di Banjar Panji 1 (BJP-1), kawasan sumur ekplorasi gas milik PT Lapindo Brantas, yang berjarak hanya 200 meter dari pusat semburan lumpur panas.
Selanjutnya, hampir semua pihak sepakat atas sebuah fakta: tidak digunakannya casing pada saat pengeboran lapisan bumi, masuk ke kedalaman 3580 kaki sampai 9297 kaki. Dalam putusan PN Jakarta Pusat sempat dinyatakan akibat tidak digunakannya casing inilah yang menyebabkan kick sehingga menyebabkan lumpur panas Lapindo.
Dalam putusan perkara 384/PDT.G/2006/PN.JKT. PST tertanggal 27 November 2007, majelis hakim sependapat dengan YLBHI bahwa semburan lumpur disebabkan kekuranghati-hatian pengeboran yang dilakukan Lapindo (turut tergugat) karena belum terpasang casing/pelindung secara keseluruhan.
Sejumlah fakta pun merupakan petunjuk kuat bahwa pengeboran merupakan sebab terjadinya lumpur panas. Suka atau tidak suka, tidak sedikit ahli dalam negeri maupun luar negeri yang berpendapat dan yakin penyebab semburan lumpur panas adalah pengeboran, bukan bencana alam.
Dalam pertemuan Association of Petroleum Geologists (AAPG) di Cape Town, Afrika Selatan pada 26-29 Oktober 2008, dari fakta-fakta yang dipresentasikan dalam pertemuan ini, mayoritas ahli geologi (74 persen) yang menjadi peserta berpendapat sangat jelas aktivitas pengeboran adalah pemicu (trigger) semburan lumpur panas Lapindo.
Sebanyak 42 ahli setuju pengeboran merupakan pemicu. Sementara 13 ahli menyatakan pemicunya adalah kombinasi dari gempa bumi yang berpusat di Yogyakarta dan 16 pakar tidak memberikan pendapatnya. Hanya tiga ahli yang menjadi peserta pertemuan tersebut percaya bahwa gempa bumi merupakan pemicu semburan lumpur panas di Sidoarjo.
Petunjuk lain, hasil analisa dari Pri Tech Company dan Neil Adam Service yang juga menguatkan dugaan kesalahan pihak Lapindo.
Belum cukup? Pihak kepolisian dan kejaksaan dapat membaca pendapat Professor Richard Davies dari Durham University (Inggris) dan Michael Manga, Universitas California (Amerika Serikat) dalam jurnal akademis Earth and Planetary Science Letters. Professor Davis Davies yakin bahwa lumpur Sidoarjo bukan bencana alam, melainkan terpicu oleh pengeboran di sumur Banjarpanji-1. Berikut petikan pendapatnya:
"Kami menunjukkan, sehari sebelumnya terjadi kick besar di sumur yang mengalirkan cairan dan gas ke sumur. Setelah itu tekanan meningkat sampai level kritis. Ini menyebabkan kebocoran sehingga cairan dari sumur dan formasi keluar ke permukaan, disebut underground blow out. Cairan ini membawa lumpur pada jalur itu, maka keluarlah lumpur itu. Jika saat itu dipasang selubung (casing) di lubang pengeboran, akan ada kesempatan bagi pengebor untuk mengontrol tekanan tersebut."
Ada atau Tidak Gugatan Perdata, Proses Pidana Jalan Terus
Di persidangan akan diperiksa dan diputus mengapa, bagaimana dan siapa yang menyebabkan semburan lumpur panas yang telah menenggelamkan tidak kurang 12 desa ini. Mark Tingay, pakar berkewarganegaraan Australia dari Curtin University of Technology, pernah menyatakan setiap harinya jumlah luberan lumpur sepadan dengan 50 kolam renang standar Olimpiade.
Gugatan perdata yang diajukan YLBHI dan WALHI sama sekali bukan untuk membuktikan ada atau tidaknya dugaan pidana dan dugaan kejahatan korporasi melainkan perbuatan melawan hukum. Sampai sekarang dugaan kejahatan yang dilakukan Lapindo belum pernah diperiksa dan diputus di pengadilan.
Sebelum penerbitan SP3, pihak Polda Jatim telah menetapkan tersangka. Dari hasil pemeriksaan, Polda juga telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka. Di antaranya Imam P Agustino (General Manager Lapindo), Aswan P Siregar (mantan Vice President dan GM Lapindo Brantas Inc).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), definisi tersangka adalah seseorang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Apa maknanya? Artinya telah ada bukti permulaan yang cukup yang dimiliki pihak kepolisian. Ada atau tidak putusan perdata atau ada atau tanpa gugatan YLBHI dan WALHI. Sebaliknya, jika pengadilan nantinya memutus para terdakwa dan/atau PT Lapindo bersalah, maka dapat digunakan lagi untuk pengajuan Peninjauan Kembali dalam gugatan perdata legal standing YLBHI.
Pihak Lapindo sendiri di media berulangkali menegaskan untuk berdebat secara ilmiah dengan pakar asing untuk membuktikan semburan lumpur panas Lapindo. Ada baiknya debat ini dilakukan di muka persidangan.
Di persidangan terbuka untuk umum, di PN Jakarta Pusat, YLBHI dan para ahli yang diajukan telah membuktikan bahwa pihak Lapindo-lah yang telah lalai tidak menggunakan casing sehingga menyebabkan semburan lumpur panas.
Singkatnya, penerbitan SP3 tidak ada dasar hukum yang jelas dan masuk akal (clear and reasonable ground).
Sayangnya, sepuluh orang yang meninggal, 13 luka-luka dan orang yang dilaporkan hilang, kebanyakan polisi dan tentara yang mengamankan wilayah semburan tidak mampu memberi semangat Polda Jatim mengusut tuntas dugaan kejahatan korporasi ini.(PRIMAIRONLINE)
0 komentar:
Post a Comment