
Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar dan terkemuka di dunia. Sejak Deklarasi Juanda 1957 negeri ini dikenal sebagai negara kepulauan atau archipelago state. Dengan 73 persen wilayahnya terdiri dari laut menjadikan negeri ini pantas disebut negara kepulauan.
Prinsip negara kepulauan yang dideklarasikan dalam Deklarasi Juanda menyatakan laut-laut antarpulau merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan bukan kawasan bebas. Perlu diketahui, meski mendapat pertentangan dari sejumlah negara, Deklarasi Juanda kemudian diresmikan dalam Undang-Undang Nomor 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Setelah Deklarasi Juanda, luas wilayah NKRI bertambah menjadi 2,5 kali lipat dari sebelumnya yang hanya 2.027.087 kilometer persegi. Luas NKRI setelah itu menjadi 5.193.250 kilometer persegi. Melalui perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar, terciptakan garis maya batas mengelilingi NKRI sepanjang 8.069,8 mil laut.
Jumlah pulau di Indonesia tak kurang dari 17.508 pulau. Dengan pulau sebanyak itu maka negeri ini kaya akan keanekaragaman hayati laut dan pesisir. Bukan hanya itu, negeri kita juga dikenal memiliki beraneka ragam flora maupun fauna yang begitu khas antara pulau satu dengan lainnya. Dan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing dan juga para peneliti.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Sesmenko Kesra) Prof.Dr. Dwisuryo Indroyono Soesilo mengungkapkan, Indonesia kaya akan potensi wisata bahari. Lebih lanjut diungkapkan Sekretaris Panitia World Ocean Conference (WOC) dan CTI Summit 2009 ini, negeri ini kaya akan laut yang biru, pasir putih, dan matahari yang menyinari dengan hangat. Di Indonesia juga terdapat sekitar 950 spesies terumbu karang, 8.500 spesies ikan tropis, dan 555 spesies rumput laut, 18 spesies padang lamun (sea grass), dan 81.000 kilometer coastlines maupun mutycultural coastal communities.
Potensi alam yang demikian besar ini tentunya harus dioptimalkan pemanfaatan demi kesejahteraan rakyat. Wisata bahari seperti selam, selancar, layar, dayung, memancing, renang, renang selat, triathlon, upaya adat laut, dan ski air bisa digalakkan di berbagai penjuru Nusantara. Tidak hanya di Bali, Lombok, Raja Ampat, maupun Bunaken, tapi di daerah lain yang memiliki panorama laut, pasir, maupun adat yang menarik.
Direktur Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan juga mengatakan potensi wisata bahari di Indonesia demikian besar. Negeri ini memiliki banyak pulau-pulau kecil yang selama ini masih belum optimal perhatiannya. Pemerintah selama ini lebih memfokuskan ke Bali, padahal banyak contoh menunjukkan potensi wisata di pulau-pulau kecil luar biasa masifnya.
Dikelola Asing?
Benarkah pemerintah masih belum menaruh perhatian pada pulau-pulau kecil? Indikasi itu mungkin benar adanya. Bila kita lihat masih banyak pulau-pulau itu yang belum diberi nama dan belum dikelola secara benar sehingga menimbulkan kesan belum dikelola sepantasnya.
Beberapa waktu lalu publik malah dibuat gempar oleh adanya warga negara asing yang bisa membeli pulau. Dua tahun lalu kita digemparkan adanya jual beli pulau di Kepulauan Riau, yakni Pulau Bawah, Pulau Cangkul, Pulau Merba, Pulau Elang, dan Pulau Lidi. Kelima pulau itu diduga dibeli warga negara asing dengan cara menggunakan warga lokal untuk atas namanya.
Saut Situmorang, Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negari, kepada wartawan pernah mengungkapkan hal itu. Ia menyatakan, di atas kertas memang yang beli penduduk lokal, tapi di belakangnya ada pembelinya warga asing. Kasus ini mencuat pada Desember 2007.
Sebelumnya ada kasus pelelangan dua buah pulau di Nusa Tenggara Barat melalui sebuah situs internet www.karangasemproperty.com. Situs itu menawarkan Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar pada publik.
Malah sekitar September 2008, kasus penjualan pulau pada pihak lain sempat menyeruak kembali. Kasus ini mencuat setelah ditengarai pada 2001 terjadi penjualan Pulau Tatawa, Kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, oleh warga setempat pada warga negara asing.
Tapi, tentu dalam tulisan ini kita tidak akan membahas persoalan hukum jual-beli tersebut, akan tetapi kekhawatiran terhadap keberlangsungan dan kelestarian dari pulau-pulau kecil di Indonesia. Cukup sudah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berpindah tangan ke negara lain, Malaysia. Jangan sampai pulau lainnya juga ikut-ikutan seperti itu.
Terlebih lagi bila pulau-pulau tersebut berpotensi sangat besar untuk pariwisata kita. Namun, pada beberapa kasus lain ada beberapa destinasi wisata bahari yang pengelolaannya oleh warga negara asing. Mereka berinvestasi mendirikan resort, penyewaan peralatan diving dan snorkeling, membangun hotel maupun fasilitas penunjang lainnya.
Son Diamar, Staf Ahli Bappenas mengungkapkan, perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau kecil yang kaya potensi wisata bahari masih minim. Diam-diam orang asing mengeruk keuntungan besar. Mentawai maju dan menjadi tujuan utama wisata selancar karena yang menjualnya orang asing. Bahkan ada di sebuah pulau di Kepulauan Mentawai, investor asing membangun hotel yang biaya menginapnya ratusan dolar Amerika Serikat per malam.
Masih menurut Son Diamar, di Pulau Wakatobi, Sulawesi Tenggara, ada orang Amerika yang membeli tanah di sana seharga sekitar Rp50 juta. Setelah dibeli, di tanah itu dibangun 20 cottage sederhana dari kayu beratap rumbia. Dalam setahun, keuntungan yang diperolehnya mencapai Rp50 miliar.
Son Diamar mengungkapkan, ketika hal tersebut dikonfirmasi ke bupatinya ternyata daerah hanya dapat Rp50 juta. Berarti kurang dari 0,1 persen, padahal orang asing itu mendapatkan Rp50 miliar.
Sementara rakyat yang dibeli tanahnya dengan harga murah hanya dijadikan pekerja kasar seperti pengangkut barang, pemanggul alas snorkeling, diving, dengan upah standar minimum propinsi.
Ungkapan senada juga terdengar dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan. Menurut Ketuanya, M. Riza Damanik, di Tomia, Wakatobi, ada konflik masyarakat nelayan dengan PT Wakatobi Dive Resort (Swiss). Masyarakat yang semula bebas melaut, oleh perusahaan asing pengelola wisata itu dibatasi ruang geraknya. Ada semacam pengaplingan area laut sebagai zona larang tangkap untuk kebutuhan dive point, dengan kompensasi Rp5 juta per bulan untuk pembangunan infrastruktur desa.
Masih menurut Riza, di Kepulauan Togian, Sulawesi Tengah, ada PT Walea (Italia) yang juga ditentang masyarakat di sana. Di sana masyarakat menentang pelarangan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan sejauh 7 kilometer dengan alasan konservasi.
Dari berbagai hal itu, Riza mengharapkan agar pariwisata bahari tidak hanya dipandang sebagai komoditas industri. Kebutuhan nelayan maupun masyarakat pesisir lainnya juga harus diperhatikan. Artinya, antara kepentingan pariwisata dengan kebutuhan masyarakat harus berjalan beriringan.
Adanya pengelolaan destinasi wisata oleh pihak asing tersebut dinilai lantaran adanya kebutuhan modal untuk mengelola aset alam nasional itu. Meskipun demikian seharusnya hal itu tidak boleh terjadi, apalagi bila perhatian pemerintah bisa lebih dari yang dilakukan selama ini.
Pelestarian lingkungan laut dan bimbingan pada masyarakat pesisir untuk meningkatkan kemampuan dalam budidaya ikan, rumput laut, teripang, maupun komoditi laut lain yang bernilai ekonomi tinggi. Melalui even World Ocean Conference dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara diharapkan laut beserta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya bisa terjaga kelestariannya.
Terlebih lagi, setelah semua kekayaan bahari tersebut terjaga jangan sampai pihak asing yang malah mendapatkan manfaatnya. Sudah seharusnya penduduk lokal di sana memperoleh manfaat dari upaya mereka untuk menjaga kelestarian ekosistem laut, baik itu terumbu karang maupun keanekaragaman hayati laut lainnya. Kalangan pengusaha lokal juga diharapkan bisa berperan lebih dalam upaya pengoptimalan wisata bahari di Indonesia. (KP)
0 komentar:
Post a Comment