
Bulan April kerap kali diidentikkan dengan bulannya perempuan. Terlebih pada bulan ini, tepatnya tiap 21 April, segenap bangsa memperingatinya sebagai Hari Kartini. Biasanya, sewaktu pelaksanaan peringatannya mulai dari murid taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas berpartisipasi dengan mengenakan beragam pakaian adat Nusantara.
Seremonial tahunan tidak berhenti di situ. Ibu-ibu menggelar beragam lomba untuk memeriahkan Hari Kartini. PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) pada bulan April ini juga nampak bertambah aktivitasnya. Mulai dari berbedah sekretariat hingga mempersiapkan berbagai lomba biasanya dilakoni pengurus maupun anggotanya.
Singkat kata, di bulan ini berbagai elemen organisasi perempuan tengah menyiapkan untuk memperingati hari kelahiran Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi perempuan. Seremonialnya senantiasa meriah meski belakangan gregetnya mulai meredup.
Pada bulan April ini, segenap warga negara Indonesia (WNI) yang memenuhi syarat juga akan melaksanakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Pagelaran akbar lima tahunan ini begitu menentukan masa depan negeri ini, karena di pundak merekalah perjuangan untuk menyejahterakan rakyat ditumpukan.
Pemilu yang baru saja berlalu diharapkan bisa menghasilkan wakil rakyat yang profesional, bersih, dan bermartabat. Rakyat sudah bosan dengan pemberitaan seputar wakilnya yang kerap menghiasi kepala berita di koran maupun media massa lainnya.
Kita juga tidak mau lagi anggota dewan yang terhormat diperkarakan lantaran persoalan perempuan. Entah itu menjalin hubungan khusus dengan sang sekretaris maupun artis dan perempuan lainnya.
Rakyat juga tidak ingin, dalam lima tahun ke depan para wakilnya hanya “duduk, diam, dan duit”. Mereka juga tidak mau wakil mereka menjadi ‘broker’ kepentingan pihak tertentu agar ‘aspirasinya’ bisa diakomodir dalam perangkat perundangan yang dihasilkan.
Harapan agar para anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik propinsi maupun kota/kabupaten), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) periode 2009-2014 bisa lebih memihak pada perempuan. Meski keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2009 ini diisyaratkan sebesar 30 persen, namun syarat ini agaknya masih sulit untuk dipenuhi.
Meski demikian, kuantitas walaupun penting tapi jauh lebih penting adalah kualitasnya. Artinya, betapa anggota dewan yang terhormat ke depan harus berprespektif jender dalam menjalankan fungsinya, terutama legislasi dan budget.
Begitu pula dengan harapan rakyat terhadap pemerintahan baru hasil Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2009 nanti. Diharapkan pemerintahan baru mendatang lebih profesional, bersih, bermoral, bermartabat, dan juga lebih memperhatikan rakyat, terutama kaum Hawa.
Mengapa penekanannya harus perempuan? Sudah menjadi rahasia publik, perempuan termasuk kelompok rentan terhadap eksploitasi pihak-pihak tertentu baik secara ekonomis maupun lainnya. Perempuan juga begitu identik dengan kelemahan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Meski tak sepenuhnya benar anggapan tersebut, tapi kondisi tertentu demikian adanya.
Kita tentu begitu familiar dengan trafiking, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), maupun berbagai bentuk eksploitasi terhadap perempuan lainnya. Belakangan kita juga menyaksikan betapa isu gizi buruk kembali menyeruak ke permukaan. Di sana, peran perempuan sebagai pihak sentral dalam mengasuh anaknya.
Ibu sebagai pihak yang secara alamiah begitu dekat dengan sang anak. Oleh karenanya bila sang ibu kurang pengetahuan maupun kemampuan ekonominya, maka dimungkinkan sang anak –terutama yang balita (bawah lima tahun)—akan menderita gizi buruk. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan baik secara ekonomi maupun pengetahuan haruslah ditekankan. Pemerintahan baru nantinya diharapkan lebih memperhatikan perempuan demi masa depan generasi mendatang.
0 komentar:
Post a Comment