Random Post

.
Home » » Merajut Kesejahteraan Sang Pendidik

Merajut Kesejahteraan Sang Pendidik

Written By REDAKTUR on 20 November 2008 | 12:07 AM

Kesejahteraan guru terutama di daerah terpencil masih harus ditingkatkan. Sarana dan prasarana pendidikan juga harus tersedia dengan memadai. Guru yang profesional, bermartabat, sejahtera, dan terlindungi untuk mewujudkan pendidikan bermutu.

Ingatkah Anda terhadap Novel maupun Film “Laskar Pelangi”. Di sana ada tokoh sentral yang menjadi inspirator si penulis, Andrea Hirata. Ya, dialah Muslimah Hafsari, guru sekolah dasar dari Andrea Hirata yang kemudian menjadi salah satu figur dari buku best seller tersebut.

Sosok Bu Mus, sepertinya mewakili sebagian guru di Indonesia. Sederhana, penuh pengabdian, dan berjuang tanpa lelah. Mereka rela mendarmakan seluruh kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya untuk generasi penerus bangsa ini. Hutan yang lebat, lautan yang dalam, gunung yang tinggi, serta jalan yang tak mulus mereka lalui dengan lapang dada demi satu cita, “Agar anak didiknya kelak menjadi manusia yang berguna”.

Mungkin Anda pernah membayangkan betapa pendidik di daerah pedalaman Papua maupuan di daerah lain di Indonesia Bagian Timur begitu kesulitan dan diuji kesabarannya dalam mengabdikan dirinya demi kemajuan bangsa dan Negara tercinta. Gaji, fasilitas, dan beragam kemewahan lain tentu begitu jauh dari angan mereka. Tak jarang mereka tidak mendapatkan gaji atau honor, dan malah ada yang mengeluarkan biaya sendiri dari keuangannya.

Bagi para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut, anak didik mereka berhasil merupakan kebahagiaan tersendiri. Malah pada beberapa daerah, di mana ada pertentangan dari sejumlah orang tua mereka ketika sang anak belajar, perjuangan guru di sana lebih berat.

Secara global, permasalahan guru dan dunia pendidikan secara umum mungkin sama. Semangat dan kesejahteraan. Boleh jadi ketika seorang guru begitu bersemangat dan rela berkorban sebagian kehidupannya demi dunia pendidikan, akan tetapi ketika keluarganya merana tentu ia akan berpikir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber lain.

Tentu kita ingat seorang guru yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi pemulung. Bahkan, ia juga menjabat sebagai kepala sekolah sebuah madrasah tsanawiyah (setingkat sekolah menengah pertama) di Cengkareng, Jakarta Barat. Mahmud, nama guru dan kepala sekolah itu. Honornya per bulan yang Rp500 ribu tentu tidak cukup menghidupi keluarganya yang tinggal di kota besar seperti Jakarta Barat. Bahkan, ia juga harus memikirkan bagaimana pengobatan istrinya yang sedang menderita kanker otak. Pemulunglah menjadi harapannya untuk menyambung kehidupan keluarga Mahmud.
Lewat sebuah acara televisi, akhirnya penderitaan istri Mahmud bisa teratasi. Film documenter tentang perjalanan hidupnya juga mendapat penghargaan dari televisi tersebut. Pekerjaan sebagai pemulung tentu tidaklah hina, apalagi bila dibandingkan tindakan sederet koruptor di negeri ini. Ia juga tidak melalaikan tugas pokoknya sebagai seorang pendidik.

Kesejahteraan bagi guru honorer atau yang mengajar di sekolah swasta pinggiran seperti Mahmud bisa diibaratkan seperti mimpi saja. Masih jauh di awang makna ‘sejahtera’ bagi mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari saja mereka haru putar otak untuk mendapatkan tambahan.

Di bulan-bulan September hingga November ini biasanya kesibukan para guru honorer bertambah. Mereka yang mendamba status Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasanya berjibaku dengan sekuat tenaga untuk meraihnya. Namun, bagi mereka yang sudah berumur dan ijazah mereka tidak memenuhi persyaratan, para guru itu hanya bisa pasrah.
Seperti dialami Widodo (46), guru honorer yang sudah mengajar selama 21 tahun di dua sekolah swasta di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Karena desakan hidup yang semakin berat, penghasilannya mengajar di dua tempat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. “Penghasilan mengajar saya Cuma Rp700 ribu per bulan. Bila mengandalkan mengajar saja, mana cukup,” keluh Bapak empat anak itu.

Mirip dengan Mahmud, akhirnya Widodo memilih pekerjaan sambilan sebagai tukang parker pinggir jalan. Wilayah operasinya di bilangan Jalan Panglima Polim dan Jalan Wijaya II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pekerjaan ini ia lakukan sepulang mengajar hingga larut malam. Rata-rata penghasilannya dari juru parkir per harinya mencapai Rp70 ribu.

Widodo rupanya tidak hanya ‘nyambi’ sebagai juru parkir saja, dia juga sempat berjualan nasi goring, sate dan tongseng, dan bakso untuk bisa menghidupi empat anak dan satu keponakannya yang masih sekolah itu. Namun, berbagai usahanya itu kini tidak berjalan lagi, sehingga hanya juru parkirlah sampingannya.

Pria asal Klaten, Jawa Tengah, dan lulusan Diploma II Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta (IKIP Jakarta, kini Universitas Negeri Jakarta) ini berharap janji pemerintah untuk memperhatikan guru honorer seperti dia yang sudah lebih dari 15 tahun mengabdi ini bisa diangkat menjadi PNS bisa direalisasikan. Ia juga mengungkapkan, beberapa kali dirinya mengikuti tes CPNS dan diambilnya daerah luar Pulau Jawa seperti Papua dan Kalimantan, akan tetapi dewi fortuna belum berpihak padanya.

Ia berharap agar pemerintah juga bisa memperhatikan nasib guru honorer yang belum memegang ijazah sarjana sepertinya. Karena, setelah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diundangkan, guru seperti Widodo harus berijazah S-1 bila ingin mengurus sertifikasi profesi.

Sertifikasi dan Guru ‘Tiri’
Kualitas pendidikan di Indonesia kini memang jauh berkembang. Hal ini terbukti dari siswa-siswi dari Indonesia yang berhasil menjuarai berbagai kompetisi (olimpiade) keilmu pengetahuan internasional. Buktinya, keberhasilan tim Olimpiade Astronomi Indonesia yang menyabet emas (Zefrizal Nanda Mardani), perunggu (Veena Salim), dan perunggu (Anas Maulidi Utama) di Simeiz, Ukraina, 29 September-7 Oktober lalu.
Tak hanya itu, dalam International Mathematical Olympiad (IMO) 10-22 Juli lalu di Madrid, Spanyol, generasi muda negeri ini juga berhasil mengharumkan nama Indonesia. Andreas Dwi Maryanto Gunawan menyabet perak, Aldrian Obaja Muis meraih perunggu, dan Fahmi Fuady juga mendapatkan perunggu. Sebelumnya, banyak anak negeri ini yang menjuari kejuaraan sejenis seperti Olimpiade Fisika Internasional di mana Indonesia menjadi langganan juara umumnya. Anak-anak cerdas ini oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijanjikan untuk memberikan beasiswa guna menuntut ilmu di universitas manapun di seluruh dunia sampai memperoleh gelar dokter. Janji itu terlontar ketika peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-63.

Penghargaan ini tentu sudah pas, namun akan lebih baik lagi bila guru-guru yang berhasil mendidik anak-anak tersebut juga diberikan penghargaan. Meski sudah menjadi tanggung jawab para guru, tentu akan lebih memacu mereka bila ada perhatian lebih dari pemerintah.

Program sertifikasi pendidik (guru dan dosen) seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memang diharapan bisa menjadi embun penyejuk dari kedahagaan akan arti sejahtera dari para pendidik itu. Sudah selayaknya para pendidik dalam menjalankan profesi mulia itu memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Setidaknya ini untuk menghapus air mata mereka yang masih berpenghasilan di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Sertifikasi guru merupakan angin surgawi bagi para pahlawan tanpa tanda jasa itu. Setelah mereka memenuhi standar yang ditentukan dan memperoleh sertifikat, maka mereka berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi guru, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan manfaat tambahan lain terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

Tahun ini, merupakan tahun kedua dari pelaksanaan program sertifikasi. Seperti pada tahun sebelumnya, berdasarkan pedoman penentuan peserta sertifikasi ada ketentuan mengenai kuota. Untuk guru berstatus PNS minimal 75% dan maksimal 85% bersertifikasi, sementara non PNS minimal 15% serta maksimalnya 25%. Hal ini tentu disesuaikan dengan proporsi jumlah guru pada masing-masing daerah.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007, jumlah guru semua tingkat pendidikan yang berstatus PNS berjumlah 1.528.472 guru, sedangkan guru non PNS sebanyak 1.254.849 guru. Sehingga total jumlah guru di Indonesia mencapai 2.783.321 guru.

Dari data tersebut, perbandingan antara guru PNS dengan Non PNS adalah 55 : 45 atau 55% PNS dan 45% Non PNS. Dari angka ini tentu beberapa pihak sempat menanyakan soal munculnya angka kuota PNS dan Non PNS dalam buku pelaksanaan sertifikasi itu.

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP) Dr. Jasrial MPd mengatakan, persoalan proporsi antaran PNS dan Non PNS dalam sertifikasi tersebut dimaksudkan sebagai skala prioritas. Bukan berarti guru Non PNS tidak dijadikan prioritas, namun tiap tahun kuota tersebut tentu akan ditinjau sesuai dengan perkembangan kebutuhan daerah.

Namun, menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, kuota sertifikasi guru PNS dan Non PNS tersebut mencermintkan pemerintah membeda-bedakan peran dan jasa guru. Ia mengungkapkan, pemerintah terkesan menganakemaskan guru PNS dan sepertinya menganaktirikan guru swasta. Padahal, lanjutnya, dalam petunjuk pelaksanaan sertifikasi disebutkan sertifikasi harus dilaksanakan secara objektif, tidak membeda-bedakan PNS ataukah Non PNS. Mereka sama asalkan memiliki kompetensi sesuai dengan standart yang ditetapkan.

Perbedaan kuota yang demikian mencolok ini tentu semakin meminggirkan mimpi guru swasta untuk bisa sejahtera. Tentu kita jangan membayangkan segelintir guru swasta di sekolah internasional atau sekolah swasta terkenal di Jakarta ataupun kota besar lainnya, akan tetapi bagaimana nasib mereka yang mengabdikan diri di kota-kota kecil atau bahkan pelosok tanah air.

Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Fasli Djalal, mengatakan bahwa penentuan kuota sertifikasi itu dilakukan karena sasaran setiap tahunnya terbatas. Oleh karena itu perlu disusun kuota sertifikasi untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota. Kuota untuk provinsi dihitung terlebih dahulu, kemudian kuota kabupaten/kota dihitung berdasarkan kuota provinsi bersangkutan.

Lebih lanjut disebutkannya, jumlah peserta sertifikasi guru tahun 2007 terhitung sebanyak 190.450 orang guru. Jumlah itu terdiri dari 20.000 orang yang telah didaftar pada 2006 dan 170.450 orang ditetapkan pada 2007.

Gaji Guru Rp6 Juta Lebih?
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sepertinya mulai merealisasikan janjinya pada insan pendidik secara bertahap. Dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009 nanti, anggaran pendidikan sudah sebesar 20%. Tentu angka ini cukup melegakan, karena amanah konstitusi seperti terdapat dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 bisa dilaksanakan.

Sebagaimana kita ketahui, anggaran pendidikan pada periode sebelumnya masih kurang dari 20%. Untuk tahun 2004, anggaran pendidikan kita hanya sebesar 6,6% dari total anggaran. Lalu, tahun 2005, anggaran pendidikan naik menjadi 9,29% dan tahun 2006 naik lagi menjadi 12,01%. Kemudian, di tahun 2007 anggaran pendidikan kita mencapai 14,68% dan tahun 2008 ini sebesar 17,40%. Dan dalam rencana anggaran di tahun 2009 nanti besarnya mencapai 20,10%.

Pada tahun 2009 nanti, lonjakan anggaran sebesar itu diharapkan bisa memacu sektor pendidikan kita untuk bisa lebih berkualitas lagi. Sekolah-sekolah sudah tidak ada lagi yang reot ataupun rusak. Begitu pula dengan buku-buku pelajarannya sudah bisa dipenuhi bagi seluruh siswanya. Bahkan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo telah membeli hak cipta buku-buku pelajaran di mana dimaksudkan agar harga bukunya bisa lebih murah dan anak didik bisa memilikinya.

Mengikuti perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, kesejahteraan guru juga diharapkan bisa mengalami kenaikan. Berdasarkan RAPBN 2009 tersebut, kesejahteraan guru PNS golongan II/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar NOL tahun bakal memperoleh gaji minimal Rp2 juta. Tentu hal ini merupakan kemajuan dalam proses peningkatan kesejahteraan guru di Indonesia. Untuk guru PNS golongan IV/E dan sudah bersertifikat profesi bisa mencapai Rp6,9 juta per bulannya. Gaji ini belum termasuk tunjangan fungsional dan tunjangan profesi guru dengan sertifikat. “Itu untuk menunjukkan komitmen kami terhadap penggunaan anggaran yang besar tersebut,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.

Lantas, bagaimana halnya dengan guru Non PNS? Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, pemerintah juga memberikan tunjangan fungsional untuk guru tetap Non-PNS yang belum Sarjana sebesar Rp250 ribu per bulan dan yang Sarjana minimal Rp300 ribu per bulan.

Pemerintah juga berjanji akan meningkatkan pendapatan guru di daerah terpencil. Jika sebelumnya guru yang mengajar di daerah terpencil dan memiliki sertifikat profesi digaji Rp2,29 juta per bulan pada tahun 2008 ini, maka tahun depan jumlah penghasilannya dinaikkan menjadi Rp5,1 juta per bulan. Sementara bagi guru di daerah terpencil yang belum bersertifikat yang sebelumnya juga mendapat Rp2,29 per bulan, maka pada tahun depan ditambah menjadi Rp3,6 juta per bulannya.

Masih menurut Bambang Sudibyo, bukan hanya guru saja yang gajinya dinaikkan. Dosen juga mengalami peningkatan seiring dengan naiknya anggaran pendidikan. Bila sebelumnya gaji dosen PNS Golongan III/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar NON tahun mendapatkan Rp1,8 juta per bulan, maka di tahun 2009 mendatang mereka akan mendapatkan gaji Rp2,26 juta per bulannya. Sedangkan untuk guru besar yang berstatus PNS Golongan IV/E dan bersertifikat profesi, gajinya naik tajam dari Rp5,1 juta menjadi Rp13,5 juta.

Peningkatan kesejahteraan guru dan dosen tersebut menempati porsi 27% dari anggaran pendidikan. Kenaikan anggaran pendidikan yang menjadi Rp224,4 triliun pada RAPBN 2009 juga dimanfaatkan untuk percepatan penuntasan wajib belajar dari tingkat dasar hingga sekolah menengah. “Anggaran pendidikan nantinya yang diserap lebih dari 50% untuk program wajib belajar,” kata Bambang Sudibyo.

Bambang juga mengungkapkan, pendidikan tersebut tidak hanya untuk pendidikan di lingkup Depdiknas, namun juga untuk institusi pendidikan di lingkup Departemen Agama. Anggaran untuk pendidikan tinggi juga dinaikkan. Tak luput dari kenaikan tersebut adalah anggaran untuk pendidikan nonformal meski kenaikannya tidak banyak.
Kenaikan anggaran pendidikan juga digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan peneliti dan perekayasa di luar Depdiknas. Bahkan, untuk peneliti Non-PNS juga disiapkan anggarannya, dan hal ini diatur oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Bagaimana dengan sekolah kedinasan di luar Depdiknas dan Departemen Agama? Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo mengatakan, sekolah kedinasan yang dilakukan departemen lain seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Departemen Dalam Negeri dan Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN) di Departemen Keuangan tidak termasuk yang mendapatkan anggaran pendidikan. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tidak memasukkan mereka. Ke depan, lanjut Bambang, pemerintah akan segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pendidikan Kedinasan untuk mengatur peralihan penyelenggaraan pendidikan tersebut agar tunduk sepenuhnya pada UU Sisdiknas.
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger