Dalam sejarah Islam, kita mengenal sosok Khalifah Umar bin Khattab. Ia merupakan pemimpin tertinggi umat Islam di seluruh dunia sepeninggalan Nabi Muhammad. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang tegas namun berhati lembut.
Kelembutan hatinya itu bisa terasa ketika kita menyimak sejarah bagaimana ia berusaha untuk mengerti dan memahami kondisi rakyat yang dipimpinnya. Disebutkan ia sering kali memasuki pelosok-pelosok kampung yang masuk wilayahnya. Umar melakukannya untuk mengetahui dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan rakyatnya.
Suatu ketika ada sebuah keluarga miskin yang tidak memiliki bahan makanan. Sang ibu ketika itu merebus air yang didalamnya hanya diisi oleh batu. Ketika anak-anaknya menanyakan kapan makanannya masak, si ibu selalu menjawab, “Sebentar lagi nak”. Tangis lapar sang anak pun tak bisa terelakkan, dan sang ibu dengan memendam iba terpaksa berbohong agar tangis anaknya tidak menjadi-jadi.
Ketika itu, Umar mendengar sayup tangisan itu. Ia kemudian menghampiri dan menanyai si ibu tadi. Ketika mendengar penjelasannya, Umar pun langsung ke istana dan memanggul sendiri karung gandum untuk diberikan pada wanita tadi.
Bahkan, kelembutan hatinya tersebut juga terlihat dari ucapannya ketika melihat bencana kekeringan yang melanda negerinya. Ia mengatakan, “Saya khawatir dimintai tanggung jawab di akhirat, jika ada seekor keledai mati di Syam.”
Dari cerita sejarah tadi, kita tentu bisa mengambil makna bagaimana rasa empati itu terbangun dari seorang pemimpin besar Umar bin Khattab. Ya, begitulah empati. Di tengah kondisi yang tidak menguntungkan bagi sebagian masyarakat di negeri ini rasa empati begitu dibutuhkan. Tak sekedar bersimpati dan berwacana, atau malah –mohon maaf- memanfaatkan kemiskinan untuk tujuan tertentu. Apalagi menjelang 2009, seolah kemiskinan menjadi ‘barang dagangan’ yang begitu menggiurkan.
Sejatinya, empati merupakan kesanggupan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain, kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta bisa menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Tak hanya itu, peduli atau empati harus diteruskan pada tahapan menanggapi serta melakukannya.
Untuk bisa mewujudkannya, kita bisa mengandaikan bahwa seluruh umat manusia di muka bumi ini bisa ibarat seluruh tubuh kita ini. Bila ada salah satu anggota tubuh ini yang sakit, pastilah yang lainnya ikut merasakan. Nah, itulah empati yang sejati.
Memang, kita harus jujur, untuk sampai pada tingkat empati yang demikian perlu proses dan waktu tidak sebentar. Para pakar ilmu komunikasi bahkan mengatakan, untuk dapat bersikap peka dan peduli membutuhkan tingkat kematangan kepribadian tertentu. Malah, disebutkannya kepedulian ataupun empati merupakan kata kunci dalam tahap akhir kecerdasan emosional seseorang.
Mungkin kita pernah membaca buku yang ditulis psikolog terkenal Michael Nichols dari Albany Medical College. Ia mengatakan, ada dua modal utama seseorang untuk bisa memiliki rasa empati, yakni mengerti dan menerima. Mengerti apa yang dirasakan orang lain, dapat melihat masalah dari sudut pandang mereka dan akhirnya bisa menerima keadaan itu.
Kita harus mampu tidak hanya bercermin pada ‘kaca cermin’ saja, yang hanya melihat persoalan hanya dari sudut pandang diri sendiri. Bila ini yang dipakai, maka sikap egosentrislah yang bakal keluar.
Seharusnya, kita bisa bercermin pada dua kaca sekaligus, yakni kaca cermin dan kaca jendela. Bila ‘kaca cermin’ berbicara dalam perspektif egosentris kita, namun ‘kaca jendela’ bisa mengetahui dan melihat melalui cara pandang orang lain. Melalui ‘kaca jendela’ seseorang tidak hanya melihat diri sendiri, akan tetapi juga melihat orang sekitarnya dengan berbagai keadaan yang melingkupinya.
Melalui perubahan cara pandang inilah kita tidak hanya bisa berpikir dalam lingkup ego kita, tapi juga memikirkan seandainya yang berpikir itu orang lain. Kita juga bisa merenung dan menempatkan diri pada kondisi terjelek yang dirasakan oleh orang lain. Dari situlah, akhirnya hati kita bisa tergerak dan mau mengulurkan tangan bagi mereka yang masih kekurangan dan di lembah kemiskinan. Bila semua orang di negeri ini merasakan hal demikian, maka persoalan kemiskinan akan bisa teratasi dengan mudah. Saatnya kita berempati.
Home »
» Puasa dan Empati
Puasa dan Empati
Written By REDAKTUR on 31 August 2008 | 9:24 PM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment