FPI dan Pengalihan Isu BBM

Isu penyerangan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monumen Nasional (Monas) Minggu, 1 Juni, seolah menenggelamkan hingar-bingar pemberitaan kenaikan Bahan Bakar Minyak bersubsidi dan dampak yang ditimbulkannya. Apalagi hampir seluruh media nasional, baik cetak atau elektronik seolah serempak menjadikan berita ini sebagai sajian utama.

Saya menjadi ingat ketika mendiang mantan Presiden Soeharto sakit hingga wafat. Hampir seluruh media nasional dan lokal baik cetak maupun elektronik memberitakan, bahkan detik demi detik, perkembangan Jenderal Besar ini. Pemberitaan tersebut juga menggambarkan betapa mantan orang terkuat Indonesia selama 32 tahun ini begitu lemah tak berdaya seperti manusia lain, sehingga muncul pendapat untuk memaafkannya.

Kejadian hampir serupa terjadi dalam kasus FPI ini. Begitu demontrasi maupun penolakan besar-besaran terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi menggema di seantero negeri, tiba-tiba 1 Juni muncul insiden tersebut.

Padahal, keberadaan FPI berikut kejadian yang dilakukannya terhadap upaya "memerangi kemungkaran" versi mereka sudah diketahui masyarakat dan tentunya termasuk aparat Kepolisian maupun Tentara.

Namun, ketika mereka mengadakan aksi, mulai dari konfoi hingga menghampiri kerumunan massa Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, sepertinya aparat tidak tanggap. Malah, menurut teman saya ada semacam pembiaran terhadapnya.

Kebrutalan atau kekerasan massa yang seharusnya bisa dicegah, ternyata -seolah- dibiarkan terjadi begitu saja. Kondisi ini begitu kontradiktif ketika aparat 'membubarkan' mahasiswa di dalam kampus Universitas Nasional Jakarta yang mengungkapkan pendapatnya seputar kenaikan harga BBM bersubsidi.

Nah, apakah ini memang ada korelasinya????