KAMPUS adalah simbol integritas intelektual. Di sana peradaban dibangun dan dihargai. Tidak semata peradaban intelektual, tetapi peradaban kemanusiaan. Karena itu, hanya sedikit lembaga di dunia yang memiliki kemerdekaan mimbar. Yaitu kampus, agama, dan parlemen.
Terhadap tiga lembaga ini tidak ada intervensi, apalagi kekerasan. Intervensi terhadap ketiganya, apalagi kekerasan, adalah malapetaka peradaban.
Kita telah menyaksikan perjalanan peradaban bangsa-bangsa di dunia. Dari yang memberangus kampus, sampai dengan yang mengharga kemerdekaannya. Peradaban sekarang umumnya bermuara pada keniscayaan kemerdekaan kampus atau kemerdekaan mimbar. Kekerasan telah mengakui kesalahan di masa lalu, sehingga dengan jujur menegakkan kemerdekaan mimbar itu.
Tetapi Indonesia rupanya sarat dengan otoritas yang bermemori pendek. Otoritas yang ingin mengisi sejarah dengan kehendak kekerasan.
Penyerbuan polisi terhadap kampus Universitas Nasional di Jakarta Selatan, sungguh mengejutkan. Polisi dengan segala peralatan dan nafsu kekerasan - tabiat lama - tidak saja menangkap mahasiswa yang dituduh anarkis dalam demonstrasi anti-kenaikan harga BBM. Polisi juga memporakporandakan bangunan universitas.
Baru sepuluh tahun lalu kita menyaksikan malapetaka militerisme yang kejam. Semua kita mengutuknya. Dan yang terlibat, polisi dan tentara, juga mengatakan tobat menggunakan kekerasan terhadap warga yang tidak bersenjata.
Tetapi sekarang tabiat militerisme itu diperlihatkan dengan kasar oleh polisi. Polisi memperlihatkan kembali nalurinya sebagai militer. Maklum, polisi yang sekarang pindah rumah, dahulu adalah anak kandung tentara.
Mahasiswa yang berorasi di kampus adalah orang-orang sipil. Modal mereka tidak sebanding dengan polisi yang memiliki seluruh peralatan pembelaan diri dan penyerangan bahkan pembunuhan. Modal mereka cuma pengeras suara dan idealisme serta militansi. Adalah sangat tidak berimbang jika polisi menghadapinya seakan sedang berperang di medan tempur.
Sebuah penyerangan kampus yang menangkap ratusan mahasiswa - banyak di antaranya luka-luka - dan memporakporandakan bangunan universitas adalah sebuah kebrutalan. Brutal tidak semata dalam pengertian kekerasan dengan kekejian, tetapi juga brutal dalam perspektif peradaban.
Perusakan kampus oleh polisi bisa disamakan dengan pembumihangusan kampus Pattimura di Ambon pada saat kerusuhan dulu. Adalah tidak masuk akal bagaimana orang-orang yang bertikai membumihanguskan institusi pendidikan.
Pembumihangusan kampus itu adalah kekejaman peradaban yang tidak bisa dimengerti di zaman seperti sekarang ini.
Kekejaman peradaban di Ambon waktu kerusuhan itu, sekarang diperlihatkan polisi di ibukota terhadap kampus Unas. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan kebrutalan itu.
Ketika polisi menuduh mahasiswa anarkis, polisi telah berada pada sisi yang memihak kekuasaan. Padahal sebagai penjaga keamanan, polisi harus netral. Mereka menjaga keamanan pejabat, juga keamanan warga. Tidak ada kelompok dalam negara yang harus memperoleh keamanan dan kenyamanan lebih baik dari yang lain.
Perlu dilakukan investigasi oleh sebuah tim independen untuk menegakkan keadilan dalam kasus penyerbuan terhadap kampus Unas itu. Polisi tidak boleh bertindak semena-mena.
Ketika polisi menyerbu kampus, sangat jelas kelas peradaban kepolisian kita. Bagaimana sebuah bangsa bisa maju dan berkembang kalau otoritas negara tidak memiliki kepedulian terhadap kampus?
Kita sedang berhadapan dengan polisi yang berjubah reformasi tetapi bermental pembunuh. Itulah ironi peradaban.
Disarikan dari: INILAH.COM
Home »
» 'Penyerbuan' Unas Usik Peradaban Kampus
'Penyerbuan' Unas Usik Peradaban Kampus
Written By REDAKTUR on 26 May 2008 | 7:44 AM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment