Random Post

.
Home » » Konglomerasi Tinggalkan Rakyat

Konglomerasi Tinggalkan Rakyat

Written By REDAKTUR on 16 May 2008 | 9:00 AM

Pemulihan ekonomi setelah satu dekade reformasi masih belum mebuahkan hasil yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi cenderung didominasi ekonomi konglomerasi. Sementara ekonomi rakyat melemah, makin marginal, dan terpental.

Kondisi ini mengingatkan kita pada kritik Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi, terhadap kiprah Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Indonesia. Sebuah kritik yang patut disimak, sebab bisa menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang. Sebagaimana disarankan Presiden SBY dan Wapres JK, bangsa kita harus belajar dari pengalaman masa lalu, terutama sejarah ekonomi-politik bangsa ini.

Stiglitz dan istrinya, Anya Schiffrin, sempat tinggal di Ubud, Bali, selama sebulan tahun lalu. Stiglitz sering mengingatkan kesalahan IMF dan Bank Dunia dalam memberikan resep bagi pemulihan ekonomi di Indonesia. Sebab, bukannya pulih, ekonomi Indonesia justru makin sakit pascakrisis moneter 1997-1998.

Joseph Stiglitz, dalam bukunya Globalization and Its Discontents (2002) dan Making Globalization Work (2006), membuka mata banyak orang tentang bagaimana IMF dan Bank Dunia yang berpengaruh besar pada ekonomi negara-negara berkembang.

Dalam buku pertama, Stiglitz membahas Indonesia sangat rinci, antara lain akibat dari kepatuhan Indonesia menjalankan resep IMF yang secara umum disebut Washington Consensus. Kebijakan itu menekankan pada pengurangan besar-besaran peran pemerintah, liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi serta secara cepat.

Kelemahan Washington Consensus seperti ditulis Stiglitz dalam buku kedua adalah kurangnya perhatian pada keadilan (equity), lapangan kerja, dan kompetisi, untuk menjalankan reformasi ekonomi. “Akibatnya hanya bisnis besar yang bisa bertahan dan berkembang pasca krisis,” katanya.

Menurutnya, model Washington Consensus dari IMF untuk Indonesia terlalu menekankan pada kenaikan PDB, bukan pada hal-hal menyangkut standar hidup. Konsep itu juga tidak menaruh perhatian pada keberlanjutan pertumbuhan secara ekonomi, sosial, politik, atau lingkungan.

Kasus Argentina yang dipuji karena mengikuti resep Washington Consensus, tetapi ekonominya hanya cemerlang beberapa tahun untuk kemudian anjlok, semakin menguatkan pentingnya penekanan pada keberlanjutan.

Perbedaan antara Argentina dan Indonesia memang menarik. Sebab kata Stiglitz, setelah krisis, Argentina berani mengatakan ‘Tidak!’ pada IMF. Mereka menciptakan kebijakan ekonomi yang independen berdasarkan kebutuhan sendiri dan berhasil tumbuh lebih cepat daripada negara-negara lain di dunia. Mereka berani berpikir ulang strategi ekonomi mereka, setelah menyadari kebijakan IMF salah.

Sedangkan Indonesia mengikuti kebijakan IMF dan dampaknya menjadi negara paling lambat pulih di Asia Tenggara. Sekarang ekonomi Indonesia tumbuh 6%, tetapi tetap lebih rendah dibanding yang seharusnya dapat dicapai. Juga lebih rendah dibanding negara-negara yang menolak Washington Consensus dari IMF.

“Ekonomi kita masih didominasi konglomerasi, karena ekonomi rakyat dan UKM kurang mendapat sentuhan nyata dari kebijakan pemerintah. Padahal UKM dan ekonomi rakyat merupakan tulang punggung ekonomi bangsa ini,” kata Prof Mudradjad Kuncoro, dosen Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta.

Dua negara di Asia Timur yang paling berhasil pertumbuhannya adalah China dan Vietnam. Dalam 15 tahun terakhir Vietnam bahkan paling berhasil menurunkan kemiskinan dalam hitungan persentase. Mereka tidak menjalankan Washington Consensus.

“Negara-negara itu terlibat dalam globalisasi dengan menggunakan formula mereka sendiri, bukan formula IMF ataupun Washington Consensus,” kata Stiglitz.

Sementara Indonesia masih mengikuti konsep IMF yang diusung Boediono, Sri Mulyani, Mari Pangestu, dan kelompok Mafia Berkeley. Presiden SBY bahkan mendukung mereka, karena ketidakmengertian persoalan yang kompleks itu.

“Ini berbeda dengan Wapres JK yang tak mau tunduk begitu saja kepada IMF dan Bank Dunia. Wapres bersikap berani dan itu harus kita akui,” kata Kwik Kian Gie, mantan Menko Ekuin.

Dampaknya adalah sepuluh tahun reformasi, ekonomi rakyat tak berubah. Yang terjadi justru ekonomi konglomerasi yang bangkit dan berkembang cepat meninggalkan ekonomi rakyat yang mati suri.
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger