Pasca kemenangan kalangan oposisi di lima negara bagian Malaysia pada pemilihan raya lalu, Barisan Nasional terancam pecah. Rakyat Malaysia menuntut adanya perubahan. Perolehan suara yang cukup signifikan dari kalangan oposisi menerbitkan harapan baru bagi negeri jiran ini, terutama soal demokrasi dan keterbukaan
Oleh: Rivai Hutapea
Angin baru perpolitikan Malaysia, negeri jiran Indonesia, berhembus dengan kencang. Pernyataan itu tentu saja bukan sekadar ramalan kosong. Tapi, benar-benar sebuah kenyataan, terutama pasca pilihanraya (pemilu,red) beberapa waktu lalu. Kelompok oposisi yang terdiri dari Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang dimotori oleh Anwar Ibrahim dan istrinya Wan Azizah Wan Ismail, Partai Islam se-Malaysia (PAS) Nik Mat Aziz dan Partai Aksi Demokratik (PAD), mulai unjuk gigi. Di luar dugaan banyak pihak, mereka berhasil mengantongi suara terbanyak di lima dari 12 negara bagian.
PKR yang kerap vokal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah misalnya, berhasil memperoleh 31 kursi parlemen. Padahal pada pemilu 2004, PKR hanya mendapat 1 kursi. Sementara DAP 28 kursi dan PAS 23 kursi. Kelompok oposisi berhasil merebut 82 dari 222 kursi di parlemen. Dengan kemenangan itu, mereka berhak membentuk pemerintahan sendiri di lima negara bagian Malaysia: Kedah, Penang, Perak, Selangor dan Kelantan. Kemenangan PKR juga meloloskan putri Anwar Ibrahim, Nurul Izzah sebagai anggota parlemen dari daerah pemilihan Lembah Pantai.
Di sisi lain, kekalahan di lima negara bagian itu menjadi tamparan keras bagi kubu Barisan Nasional (BN), kelompok partai pendukung pemerintah. Selain sejumlah politisi seniornya tak lagi masuk ke parlemen, BN juga mendapat kritikan keras dari para pendukungnya sendiri karena dianggap tidak mampu menjaga kemenangan yang ada.
Bahkan, karena kekalahan itu BN terancam pecah. Itu terlihat dari sikap mantan Perdana Menteri Malaysia yang juga politisi senior BN, Mahathir Mohammad, yang tak kuasa menahan emosi. Tanpa tedeng aling-aling, Mahathir menuding sumber kekalahan BN dari kelompok oposisi adalah Abdullah Ahmad Badawi, tokoh BN yang sekarang menjabat sebagai Perdana Menteri. Ia pun menuntut yuniornya di pemerintahan itu, mundur. “Menurut saya ia telah menghancurkan BN,” katanya di depan para wartawan, Ahad (9/3).
Lepas dari konflik internal di kubu BN tersebut, sejumlah analis politik malah menyambut baik kemenangan partai oposisi di lima negara bagian itu. Mereka bahkan menyebutkan hasil pilihanraya itu sebagai harapan baru bagi perkembangan demokrasi di Malaysia.
Salah satu analis yang optimis dengan kemenangan oposisi itu adalah pengamat Asia Tenggara dari East West Center yang berpusat di Washington, AS, Muthiah Alagappa. Ia menilai jika Indonesia terbilang sebagai negara demokrasi, maka Malaysia baru setengah demokrasi. Hasil pilihanraya itu menurut Muthiah sedikit demi sedikit akan mengubah wajah perpolitikan di Malaysia. Kran kebebasan, setidaknya akan terbuka perlahan-lahan dengan meningkatnya perolehan suara kelompok oposisi ini.
Perubahan paling jelas tentu saja akan terlihat saat pengesahan undang-undang di parlemen nantinya. Jika selama ini BN dengan mudah meloloskan dan mengesahkan undang-undang untuk menopang kepentinganyannya, maka dengan hasil pemilu ini, mereka tentu tidak akan semudah dulu lagi. Dengan demikian, diharapkan sistem check and balances dalam politik Malaysia akan berjalan dengan baik.
Harapan positif juga datang dari kalangan oposisi di Malaysia. Tokoh oposisi yang dianggap memainkan peran signifikan dalam kemenangan kelompok oposisi, Anwar Ibrahim, menyebutkan hasil pemilu ini sebagai fajar baru yang tengah menyingsing di Malaysia.
“Ini merupakan permulaan dari misi kami yang akan mereformasi agenda kita sebagai Malaysia yang multirasial. Oposisi terdiri atas partai multirasial. Ini langkah yang fanatik. Saya akan memajukan etnis Melayu, sebagaimana etnis Cina dan India,” ujar mantan wakil perdana menteri Malaysia ini penuh optimis.
Selama ini, Malaysia dikenal sebagai negeri Muslim yang mengagumkan tingkat perekonomiannya. Pertumbuhan ekonomi mantan negeri jajahan Inggris ini termasuk paling tinggi di antara negeri-negeri Muslim dunia dengan pertumbuhan rata-rata di atas lima persen per tahunnya.
Namun, tak sedikit pengamat yang menilai negeri jiran ini tertinggal jauh dari segi demokrasi. Ini dikarenakan kerajaan tidak memberikan ruang gerak yang cukup kepada kalangan oposisi. Akibatnya, kelompok oposisi tidak bisa berbuat banyak untuk memajukan negara. Padahal, keberadaan oposisi berperan besar sebagai penyeimbang pemerintahan dan membantu berjalannya demokrasi di sebuah negara.
Tekanan pihak kerajaan terhadap kalangan oposisi sempat diangkat oleh sejumlah media lokal, seperti Harakah dan Suara Keadilan. Di beberapa edisinya, dua media ini pernah mengangkat berita tentang masjid yang digembok oleh pemerintah lantaran pengurus masjidnya pernah mengundang penceramah yang kebetulan kritis terhadap kerajaan.
Tak hanya mengangkat beritanya saja, dua koran oposisi itu juga menampilkan foto-foto sejumlah masjid yang digembok tersebut. Sehingga wajar jika kemudian sejumlah kalangan di Malaysia pernah menyatakan bahwa kerajaan Malaysia hakikatnya tidak jauh berbeda dengan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto di Indonesia. “Ekonomi nggak merdeka, politik nggak merdeka. Jadi merdeka itu buat golongan saudagar kaya,” ujar Anwar Ibrahim kepada Sabili.
Seperti diketahui, saat masih berjaya, rezim Soeharto pernah menjalankan politik kekerasan kepada para pengritiknya, terutama kalangan Islam. Selain membuat surat izin bagi para penceramah agama, Orde Baru juga menyebar banyak intel ke umat Islam. Karena itu, tidak sedikit para ustadz yang akhirnya dijebloskan ke penjara karena dianggap menghasut warga. Padahal, mereka hanya sekadar menyampaikan ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah saw.
Kini, fajar tengah terbit di Malaysia. Harapan baru pun mulai tumbuh di negeri serumpun ini. Setelah kelompok oposisi berhasil meraup suara signifikan di parlemen, wajah perpolitikan Malaysia sedikit demi sedkit menunjukkan perubahan.
Perubahan itu terlihat jelas pada pemberitaan sejumlah koran di sana. Pasca pilihanraya lalu, pemberitaan media massa semakin berimbang dan proporsional. Kantor berita Bernama misalnya, sejak pemilu lalu media ini kerap mengangkat pandangan tokoh kalangan oposisi yang sebelumnya sangat minim diangkat. “Ini menjadi peringatan bagi kami. Arus utama media harus menelaah dan mengkaji kebijakan kami,” kata Azman Ujang, General Manager kantor berita Bernama.
Raihan signifikan kalangan oposisi pada pemilu Malaysia lalu menunjukkan bahwa rakyat Malaysia menuntut perubahan. Rakyat menginginkan keadilan tegak. Semoga harapan itu menjadi kenyataan.
Harapan Baru, Putri Reformasi
“Izinkan saya menjadi agen perubahan bagi Anda semua. Biarkan saya membantu memberikan warisan yang baik bagi anak-anak kita. Kita bisa melakukan sesuatu,” ujar Nurul Izzah, tokoh muda, harapan baru Malaysia.
Meski usianya terbilang masih belia,28 tahun, kematangan Nurul Izzah, putri sulung Mantan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, dalam berorganisasi dan berpolitik cukup diperhitungkan. Sejak kecil Izzah, demikian master dari John Hopkins University, AS, ini biasa disapa, sudah ditempa secara matang oleh sang ayah. Saat ayahnya dipenjara oleh rezim Mahathir Mohammad, Izzah dan ibunya, Wan Azizah Wan Ismail, aktif menggalang dukungan bagi bebasnya sang ayah. Sejak usia 18 tahun, perempuan yang dulu dikenal pemalu ini sudah tertarik dalam dunia politik, ekonomi dan pemberdayaan perempuan.
“Saya pro hak wanita, tapi bukan feminis,” ujarnya saat diwawancara Sabili beberapa tahun lalu. Isu soal pembangunan ekonomi, perbedayaan perempuan dan anti-diskriminasi rasial inilah diantaranya yang menghantarkan Izzah menang dalam pemilihan raya parlemen, mengalahkan Menteri Pembangunan Wanita, Shahrizat Jalil dari koalisi Barisan Nasional. Kepedulian Izzah terhadap perempuan terlihat dalam berbagai aktivitasnya memperjuangkan pemberdayaan perempuan di forum internasional.
Ia tercatat aktivis hubungan budaya dan perempuan di New York dan Gerakan Wanita Internasional di San Fransisco. Karena Kecerdasan dan kefasihannya mengampanyekan pemberdayaan perempuan inilah, wajah cantik Izzah kerap muncul di stasiun televisi internasional seperti CNN dan BBC. Meski mulus melaju di kursi parlemen, Izzah mengaku akan memperjuangkan seluruh hak rakyat Malaysia tanpa memilah suku dan ras. Ia juga mengatakan tak ada dendam dalam dirinya terhadap pemerintah yang dulu menzalimi ayahnya. Kini, kiprah perempuan cerdas ini ditunggu rakyat Malaysia yang menginginkan perubahan dan sistem pemerintahan yang bersih dan terbuka.
Home »
» Fajar Menyingsing di Negeri Serumpun
Fajar Menyingsing di Negeri Serumpun
Written By REDAKTUR on 14 April 2008 | 8:39 PM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment