MEGAWATI SOEKARNOPUTRI kembali melancarkan kritik yang lucu namun pedas. Setelah menyindir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih mementingkan tebar pesona daripada unjuk kinerja, kini ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menggoda lagi dengan tudingan baru.
Pemerintahan yang dipimpin duet SBY-JK, kata Mega yang mantan presiden, seperti penari poco-poco. "Maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur juga dua langkah," katanya di depan ribuan kader PDI Perjuangan di Palembang kemarin.
Esensi dari kritik itu adalah stagnasi. Kalau maju satu langkah dan mundur juga satu langkah, berarti kita sesungguhnya bergerak di tempat. Maju tidak, mundur pun tidak.
Kesulitan terbesar seorang pemimpin negara adalah memenangkan persepsi positif publik. Termasuk persepsi oposisi yang di mana-mana memang berupaya mengincar kejelekan daripada kebaikan. Mencari-cari kesalahan daripada kebenaran.
Salahkah ini? Tidak terlalu salah. Tetapi salahkah menanggapi kritik oposisi? Tidak terlalu salah juga. Yang salah justru ketika opisisi memuji-muji pemerintahan yang ditentangnya. Juga salah kalau pemerintah yang melulu reaktif terhadap kritik-kritik oposisi.
Terhadap oposisi, sekali-sekali pemerintah perlu cuek. Karena bernegara tidak sama dengan berdebat. Bernegara adalah urusan menggerakkan partisipasi publik agar bersama-sama mengurus masa depan. Pemerintah yang terlalu sibuk dengan reaksi terhadap oposisi akan kehilangan peluang memperbaiki masa depan orang banyak.
Terhadap Mega, juga perlu diberi peringatan, tentu oleh orang dekatnya. Slogan-slogan menyentil mungkin pada awalnya adalah ekspresi kecerdasan dalam menerjemahkan situasi sosial. Tetapi kalau terlalu sering, kecerdasan menertawakan pemerintah melalui ungkapan-ungkapan yang menyentil itu bisa menjadi bumerang.
Yang diserang bisa saja balik menyerang dengan ungkapan lain. Misalnya, Ibu Mega itu cuma pintar mengeritik ketika tidak lagi menjadi presiden. Sewaktu memerintah, apa yang sudah ia kerjakan?
Demokrasi kita belum melahirkan kultur yang pas tentang hidup bernegara, termasuk beroposisi. Opsisi selalu diterjemahkan sebagai perlawanan. Oposisi disamakan dengan negativism. Padahal oposisi berkepentingan terhadap kecerdasan, tidak semata kecerdasan menertawakan dan mengeritik, tetapi terutama kecerdasan memperlihatkan solusi.
Terlalu sering melahirkan slogan-slogan maupun istilah yang mengundang tawa bisa menimbulkan kesan bahwa orang beropoisi dengan tujuan dan perspektif sederhana. Kalau begini, siapa sesungguhnya yang tebar pesona?
Tarian poco-poco tidak selalu dimaknai dengan stagnasi dan situasi statis. Yang tidak boleh dilupakan adalah kegairahan ketika orang menari poco-poco. Dengan demikian, pemerintah tidak boleh tipis telinga juga dengan kritik poco-poco itu.
Sekali-sekali kita ingin mendengar jawaban dari pemerintah, "Benar, kami memang senang dengan poco-poco. Tidak pada kesederhanaan geraknya, tetapi dinamismenya."
Dan tidak salah juga, bila sekali-sekali SBY dan JK mengundang Ibu Megawati untuk bertemu sambil menikmati poco-poco. Tidak sebagai penonton, tetapi sebagai penari juga. Siapa tahu ibu Mega mau dan mahir.
Home »
» Republik Poco-Poco
Republik Poco-Poco
Written By REDAKTUR on 04 February 2008 | 2:03 AM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment