
Oleh: ROMLI ATMASASMITA*)
Banyak orang terkecoh oleh laporan BPK kepada KPK karena mencuatnya kehadapan publik aliran dana yang sangat fantastis hampir seratus milyar dari YPPI ke BI dan dari BI kepada DPR, Penegak Hukum, termasuk para penasehat hukum, dan majelis hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara BLBI. Aliran dana tsb dilandasi oleh berbagai alasan dan latar belakang,antara lain diseminasi RUU dan fee para penasehat hukum. Yang perlu diapresiasi adalah inisiatif Ketua BPK melaporkan dugaan penyuapan dan korupsi kepada KPK, dengan tembusan kepada Kejaksaan Agung dan Kepolisian pada surat tertanggal 14 Nopember 2006.
Untuk melihat kasus pelaporan dana ini secara jernih perlu diinformasikan tugas dan wewenang BPK selaku lembaga konstitusional yang dibentuk atas perintah UUD 1945 dan Perubahannya sebagai lembaga pengawas di bidang keuangan Negara. Berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK ditegaskan bahwa, BPK wajib melaporkan hasil pemeriksaan keuangan kepada DPR,DPD, dan DPRD(Pasal 7) dan diperkuat lagi oleh ketentuan Pasal 32 ayat (4) di bawah title, Akuntabilitas; bahwa hasil pemeriksaan ayat (1) diserahkan kepada DPR dengan salinan kepada Pemerintah untuk penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat.
Jika dalam pemeriksaan menemui indikasi tindak pidana maka kewajiban BPK melaporkannya kepada instansi berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (kepolisian,Kejaksaan agung atau KPK,pen) sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (3), namun ditegaskan limitasi waktu paling lama 1(satu) bulan sejak diketahuinya unsure pidana tsb. Persoalan fakta yang muncul adalah, bahwa di dalam laporan Triwulan III-2003, kepada DPR, substansi laporan BPK kepada KPK tertanggal 14 Nopember 2006, tidak sama dengan substansi laporannya kepada DPR, terutama mengenai dugaan suap atau tindak pidana korupsi; sehingga sudah tentu temuan seperti itu sangat penting bagi DPR untuk dapat menindak lanjuti sesuai perintah Pasal 59 UU Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Pasal tsb menugasi DPR untuk memerintahkan pemeriksaan khusus kepada BPK untuk mengetahui lebih dalam mengenai suatu permasalahan atau suatu kegiatan tertentu yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan pelaksanaan anggaran Bank Indonesia(Penjelasan Pasal 59). Konsekuensi logis dari tidak adanya permasalahan dalam laporan hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan BI triwulan III-2003 kepada DPR ketika itu, maka DPR tidak dapat mengambil inisiatif untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 UU BI tsb.
Persoalannya adalah laporan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR berbeda dengan yang dilaporkan kepada KPK dalam satu laporan triwulan dan tahun yang sama sehingga menimbulkan masalah hukum serius terhadap kinerja BPK dalam menjalankan amanat UU BPK dan amanat Konsitusi khususnya masalah transparansi, akuntabilitas dan integritas BPK selaku institusi Negara. Masalah hokum serius adalah bahwa dengan tidak terbukanya BPK dalam melaporkan hasil pemeriksaan kepada DPR sesuai dengan perintah UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK maka BPK telah melakukan kebohongan public dihadapan DPR RI dan juga kepada masyarakarat luas terutama dengan keterlambatan pelaporan BPK sesuai dengan perintah Pasal 8 di atas. Sedangkan pelaporan tertulis BPK kepada KPK sesuai dengan perintah Pasal itu juga baru dilakukan pada bulan nopember tahun 2006.
Pertanyaannya, mengapa untuk menemukan unsure pidana tsb BPK telah menghabiskan waktu selama 3(tiga) tahun terhitung sejak laporan Triwulan III-2003?
Atas dasar fakta hukum itulah, BPK telah melanggar ketentuan Pasal 28 di bawah title Larangan huruf a, yang menegaskan bahwa, anggota BPK dilarang: memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsure pidana kepada instansi yang berwenang. Kelambatan pelaporan temuan unsure pidana oleh BPK kepada instansi berwenang justru telah menghambat pemeriksaan KPK kepada BI untuk menemukan bukti-bukti adanya tindak pidana korupsi. Oleh karena itu pembentuk UU BPK 2006 telah mengantisipasi perbuatan tsb dengan ancaman pidana sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 19 huruf e yang menyangkut pemberhentian Ketua,Wakil Ketua, dan atau anggota BPK tidak dengan hormat, karena telah melanggar ketentuan Pasal 28 dengan ancaman sanksi pidana sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 36 UU Nomor 15 tahun 2006.
Pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa terhadap anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsure pidana kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 10(Sepuluh)tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 3 milyar dan paling banyak Rp 10 milyar. Jika diteliti kembali ternyata kesulitan dan hambatan KPK menindaklanjuti laporan BPK tersebut justru karena sikap BPK yang memperlambat pelaporan dimaksud, bukan semata-mata tidak kooperatifnya pihak terperiksa. Seandainya pelaporan BPK tepat waktu sesuai dengan perintah UU sudah tentu perjalanan KPK menemukan tersangka dan bukti-bukti yang diperlukan relative lebih mudah. Persoalan ini kembali terpulang kepada BPK mengenai motivasi dan sikap yang ditunjukkan dan nota bene bertentangan dengan UU BPK sendiri.
Bagaimana pendekatan hukum dari sisi BI dan “penerima dana” dan dari pihak KPK yang tengah menyelidiki kasus ini? Sekalipun laporan BPK yang diterima oleh KPK sesungguhnya telah melampau limit waktu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 15 tahun 2006, secara hokum, KPK sesuai dengan ketentuan Pasal 6 huruf c UU Nomor 30 tahun 2002 KPK wajib menuntaskan penyelidikan dan penyidikan sesuai perintah UU KPK; tidak perlu hirau dengan pelanggaran prosedur pelaporan BPK bertentangan dengan UU-nya sendiri karena masalah hukum tsb seharusnya juga menjadi perhatian DPR RI dalam menyikapi pelaporan BPK. Bagi “penerima dana” termasuk para penasehat hukum merupakan pihak yang relative diuntungkan karena terlindungi oleh UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Namun demikian mungkin masih dimasalahkan mengenai nilai kepatutan dalam besaran fee yang diterima mereka sekalipun di dalam UU Advokat tidak ketentuan besaran fee yang harus diterima oleh penasehat hukum. Bagi para penyidik di gedung bundar dan majelis hakim di Mahkamah Agung sudah tentu laporan BPK kepada KPK tertanggal 14 Nopember 2007 justru merupakan “tamparan keras’ terhadap kredibilitas kinerja mereka dalam menangani kasus BLBI tsb. Apalagi nama-nama mereka secara jelas dicantumkan dalam laporan BPK sebagai diduga penerima suap atau melakukan tindak pidana korupsi.
Keterlibatan mereka sangat tergantung dari hasil penyelidikan KPK dalam mengungkat tuntas kasus ini yang tentu memerlukan waktu lama. Begitu pula dugaan penyuapan dalam laporan BPK kepada KPK terhadap beberapa anggota DPR RI, memerlukan kerja keras KPK untuk menemukan bukti-bukti tsb. Badan Kehormatan DPR karena merupakan bagian dari lembaga DPR RI (lembaga politik) memang tidak diharapkan mulus menelusuri masalah ini. Namun jika KPK tidak dapat menuntaskan tugasnya maka mereka yang diduga penerima dan pemberi suap dapat membawa lapporan tsb menjadi masalah hukum yang serius.
Secara kasat mata, proses pembuktian kasus aliran dana ini sama rumitnya dengan kasus BLBI dan tidak akan tuntas dalam waktu semusim kecuali ada kemauan politik pemerintah untuk segera menuntaskan kasus ini sehingga menjadi terang benderang, dan jelas siapakah yang menepuk di dulang terpercik muka sendiri. Dari sisi etika kelembagaan di dalam suatu Negara hukum, kasus ini harus menjadi pengalaman para negarawan dan birokrasi di Indonesia karena jika amanah menjalankan mandate dan kepercayaan rakyat telah dikontaminasi oleh kepentingan perorangan, kelompok atau politik maka hasil akhir daripadanya akan menanggung beban psikologis dan sosiologis yang amat berat bagi masa depan generasi muda Indonesia. Masih banyak jalan menuju ke Roma dalam menyelesaikan masalah hukum antara kelembagaan Negara; begitulah kata pepatah dan sebaik itulah kiranya yang perlu ditempuh oleh para pemimpin dan elit politik bangsa ini sehingga tidak menimbulkan hangar bingar sarat dengan kelaliman yang sangat tidak perlu.
*)[Penulis adalah Ketua Forum 2004 dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Bandung]
0 komentar:
Post a Comment