Random Post

.
Home » » Balada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Balada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Written By REDAKTUR on 14 February 2007 | 8:30 PM

Balada Pengadilan Khusus Tindak Pidana korupsi sepertinya belum juga usai, malah terlihat makin asyik saja untuk disimak. Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/2006 yang menyatakan bahwa pembentukan Pengadilan Tipikor bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan keputusan mengikatnya dimolorkan hingga tiga tahun sejak putusan itu dibacakan (19 Desember 2006), kini satu demi satu kejadian mulai menggembarkan lagi.

Setelah draf Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (amandemen UU 31/1999 juncto UU 20/2001) yang dibuat oleh Tim Perumus RUU Tipikor dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menuai kontroversi, 14 Februari dua hakim ad hoc Pengadilan Tipikor juga malah membuat 'sensasi'. Keduanya itu adalah I Made Hendra Kusumah dan Krisna Harahap.

Mereka mengaku, kehadirannya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah dalam rangka silaturrahmi. Keduanya diterima oleh Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas kurang lebih selama 20 menit. Usai bertemu wakil ketua KPK, baik Made maupun Krisna tidak bersedia menjelaskan kepada wartawan soal maksud kedatangan mereka.

"Kita hanya silaturrahmi saja," ujar Krisna singkat.

Sementara ketika ditanya soal RUU Tipikor, Krisna mengungkapkan bahwa pihaknya telah membuat kajian sendiri terhadap draf RUU Tipikor. Ia tidak bersedia menjawab bagaimana isi dari kajian tersebut. Ia hanya menegaskan, dalam waktu dekat hasil kajian tersebut akan segera diumumkan.

Berkaitan dengan RUU Tipikor yang meniadakan keberadaan Pengadilan Tipikor, Made dalam kesempatan itu menambahkan, seharusnya sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, keberadaan Pengadilan Tipikor seharusnya dikuatkan melalui undang-undang tersendiri bukannya malah dihilangkan.

Selain mereka berdua, ternyata ada satu lagi hakim ad hoc Pengadilan Tipikor yang mendatangi KPK. Ia adalah Andi Bahtiar. Andi diterima oleh Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.

Ketika ditanya wartawan, ia hanya menjawab soal keberadaan RUU Tipikor yang meniadakan Pengadilan Tipikor justru dipandang inkonstitusional. Hal itu dikarenakan RUU Tipikor yang sekarang ini ada bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, Ketua dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Otto Hasibuan dan Harry Ponto, menanggapi berbeda soal kunjungan tiga hakim ad hoc Pengadilan Tipikor di KPK itu. Dalam siaran persnya mereka mengungkapkan penyesalannya atas kejadian itu. Mereka mengkhawatirkan, kunjungan hakim ad hoc itu justru akan mencederai kemandirian hakim.

Seorang hakim, sesuai ketentuan Pasal 33 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU KK”), dalam menjalankan tugas dan fungsinya, wajib menjaga kemandirian peradilan. Walaupun Pengadilan Tipikor dibentuk dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”), namun pengadilan tersebut tetap wajib menjaga kemandiriannya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.

KPK adalah lembaga negara yang merupakan bagian dari organ eksekutif. Oleh karenanya, tindakan ketiga hakim ad hoc Pengadilan Tipikor tersebut semakin menguatkan sinyalemen di masyarakat selama ini bahwa Pengadilan Tipikor yang menjalankan fungsi yudikatif, merupakan subordinasi dari KPK. Meski tidak mewakili Pengadilan Tipikor secara institusional, tindakan ketiga hakim ad hoc Pengadilan Tipikor tersebut berpotensi mereduksi kewibawaan Pengadilan Tipikor, hakim-hakimnya, dan putusan-putusan yang dihasilkan pengadilan tersebut. Jika diperlukan konsultasi tentang Pengadilan Tipikor, hal tersebut seharusnya dibicarakan dengan Mahkamah Agung, bukan dengan KPK.

PERADI berpandangan bahwa kemelut yang melingkupi Pengadilan Tipikor saat ini merupakan episode lanjutan dari krisis eksistensi pengadilan tersebut pasca-putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/2006 yang menyatakan bahwa pembentukan Pengadilan Tipikor bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Demi menjaga independensi Pengadilan Tipikor dari potensi intervensi organ yudikatif, PERADI meminta agar Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaaan kehakiman tertinggi untuk memanggil ketiga hakim tersebut. PERADI memandang hal tersebut perlu dilakukan untuk menggali lebih jauh permasalahan yang terjadi di Pengadilan Tipikor saat ini pada umumnya, dan profesionalitas dari ketiga hakim ad hoc tersebut. PERADI berharap kesigapan dan ketegasan sikap MA mengenai masalah ini dapat menjawab berbagai wacana yang berkembang saat ini yang cenderung mereduksi kewibawaan Pengadilan Tipikor dan putusan-putusan yang dihasilkan pengadilan tersebut.
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger