Home »
» Kuda Troya di Tubuh Golkar
Kuda Troya di Tubuh Golkar
Written By REDAKTUR on 09 October 2009 | 10:04 PM
Oleh: Oryza A.Wirawan
Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya berakhir dengan kemenangan Aburizal Bakrie. Orang pun mulai bicara soal tiadanya oposisi terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam waktu lima tahun ke depan. Ada pula yang bicara, dengan nada riang maupun gamang: Golkar memasuki senjakala. Pesimisme yang tak sepenuhnya keliru.
Marilah kita jujur: Munas Golkar tempo hari tidak menyumbangkan sesuatu yang signifikan bagi perkembangan partai ini, kecuali sekadar pergantian ketua umum. Sama sekali tak terdengar isu-isu besar dan substantif, seperti bagaimana ideologi partai ini, bagaimana visi dan misi partai menghadapi tantangan perubahan perilaku pemilih dan dinamika politik.
Isu-isu besar soal ideologi, visi, dan misi partai, justru tenggelam di bawah isu politik uang dan 'pasar sapi', antara kandidat dengan pengurus-pengurus partai daerah yang punya hak suara. Muhammad Jusuf Kalla sempat melontarkan perlunya Golkar beroposisi. Sayang sekali, wacana itu disambut tak terlampau antusias oleh sebagian besar kader Golkar. Antusiasme justru ditunjukkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menilai sikap kritis terhadap pemerintah tak selalu dalam bentuk oposisi.
Padahal, munas kali ini sangat strategis dalam mereposisi dan memperbincangkan kembali ideologi Golkar. Sejak Akbar Tanjung mengobarkan semangat 'Golkar Baru Bersatu untuk Maju' setahun setelah Reformasi 1998, saya tak melihat Golkar cukup serius menggodok semacam manifesto partai untuk mewujudkan semangat itu. Ujung-ujungnya orang bertanya: apa yang baru dari Golkar. Golkar masihlah partai politik yang ganjil: yang diisi orang-orang yang siap berkuasa, tapi tak siap berada di pihak yang kalah.
Aburizal Bakrie sebagaimana dilansir media massa menegaskan, bahwa oposisi atau koalisi bukan pilihan ideologis yang kaku. Golkar justru harus melakukan manuver politik strategis. "Menjauh, mendekat. Merangkul, membagi tempat sesuai dengan kepentingan Partai Golkar yang berimpitan dengan kepentingan bangsa," katanya dalam pidato penutupan.
Ical benar. Oposisi atau koalisi bukanlah masalah ideologis. Namun, pilihan-pilihan untuk itu atau untuk melakukan manuver strategis tetaplah dipandu oleh ideologi partai yang tegas dan jelas. Pertanyaan yang perlu dijawab, apa sesungguhnya ideologi Golkar. Selama masa Orde Baru, partai ini mengabaikan ideologi dan lebih banyak menyokong kekuasaan. Ketika Orde Baru berakhir dan Indonesia memasuki fajar baru, Golkar juga lebih banyak berkutat soal penyelamatan diri dari tuntutan pembubaran. Kemampuan partai ini bermanuver dalam momento-momento politik lebih banyak dikarenakan kepiawaian para tokohnya, dan bukan karena panduan ideologi partai yang mengejawantah dalam bentuk program.
Semestinya Golkar meniru Partai Buruh di Inggris. Setelah kalah berkali-kali melawan Partai Konservatif dalam pemilu, Partai Buruh bangkit dan berhasil menempatkan Tony Blair sebagai perdana menteri. Namun bukan Blair yang memunculkan sensasi, melainkan konsep The Third Way (Jalan Ketiga) seorang Anthony Giddens.
Giddens memberikan pijakan ideologis bagi Blair dan Partai Buruh untuk merangkul golongan 'kiri' dan 'kanan' di Inggris. Jalan Ketiga adalah manifesto politik paling penting abad ini dari kelompok 'Kiri Tengah'.
Sayang sekali, bicara Golkar berarti masih bicara soal tokoh, bukan ideologi. Kemenangan Ical sejatinya menunjukkan bahwa partai ini mengingkari hakikatnya sebagai partai modern yang tidak tergantung pada individu tokohnya. Sebagai partai yang mengklaim diri modern, Golkar tak ubahnya 'one man show party': dulu Soeharto, Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, dan sekarang Ical. Saya khawatir, kuasa Ical justru berada di atas partai. Bukankah dia yang nanti membiayai Golkar layaknya sebuah perusahaan, setelah kader-kader Golkar yang tersebar di seluruh Indonesia tak biasa patungan untuk menghidupi partainya sendiri?
Kuasa Ical yang 'maha besar' di Golkar ini akan diuji setelah nama-nama pengurus diumumkan. 'Kapal' Golkar di bawah nahkoda Ical mengakomodasi orang-orang lama di masa kepengurusan Akbar Tanjung dan keluarga Cendana. Titiek Soeharto dinobatkan sebagai wakil sekretaris jenderal.
'Kapal' Golkar kali ini juga zonder purnawirawan. Ical seperti memutus tali sejarah, bahwa partai ini didirikan oleh tentara dan selama masa Orde Baru 'berselingkuh' dengan militerisme. Namun, Ical mengakomodasi Rizal Mallarangeng, juru bicara SBY-Boediono saat pemilihan presiden lalu.
Rizal dikenal sebagai direktur Freedom Institute, lembaga yang menyebarkan pemikiran ekonomi liberal, yang dibiayai Bakrie. Ia duduk sebagai Ketua Bidang Pemikiran dan Kajian Kebijakan.
Burhanuddin Muhtadi, peneliti Lembaga Survei Indonesia, menduga masuknya Rizal dimaksud untuk memperkuat fungsi think tank. Jika Muhtadi benar, agaknya ke depan kita akan melihat wajah Golkar sebagai partai yang tunduk terhadap pemerintah dan menyokong kebijakan yang lebih 'bersahabat' dengan sistem ekonomi liberal. Kehadiran Rizal akan memiliki peran penting untuk merasionalisasi dukungan Golkar terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat pro pasar.
Namun kehadiran Rizal dan juga Titik Soeharto jika tidak dijelaskan secara benar oleh Ical, akan berpotensi memicu perlawanan dari kader-kader muda yang tidak diakomodasi dalam kepengurusan. Bagaimana pun juga, Titiek maupun Rizal tidak pernah 'berdarah-darah' untuk Golkar. Mereka seperti memperoleh tiket gratis untuk masuk dalam posisi strategis kepengurusan Golkar.
Pada akhirnya, kehadiran Rizal dan Titik justru berpotensi menganggu konsolidasi partai beringin untuk meraih kemenangan dalam pemilu 2014. Dalam konteks ini, Ical harus mewaspadai efek 'kuda troya' dalam diri Rizal Mallarangeng maupun Titik. [wir]
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment