Random Post

.
Home » » Siapa Dalang Penangkapan "Ikan Besar"?

Siapa Dalang Penangkapan "Ikan Besar"?

Written By REDAKTUR on 06 September 2009 | 11:04 PM


Melanjutkan tulisan saya sebelumnya soal lima tahun kepergian mendiang Munir, kali ini akan disajikan tulisan ABOEPRIJADI SANTOSO di POLITIKANA.COM.

Tulisan ini bagi saya cukup menarik dengan mengaitkan beberapa peliputan maupun tulisan dari media terkait persidangan kasus Munir. Berikut ini tulisan lengkap yang diposting di POLITIKANA.COM.

"Pak, saya dapat ikan besar," lapor Pollycarpus 7 Sept. 2004 kpd Budi Santoso (BIN).

Presiden SBY telah gagal menuntaskan "the test of history" yang dijanjikannya sendiri. Dia tidak mendesak Badan Intelijen Negara BIN untuk bekerjasama menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Dia tidak mendesak agar "diplomat" RI di Afghanistan Budi Santoso dipanggil sebagai saksi. Budi Santoso adalah Agen Madya BIN yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan terdakwa Muchdi Pr. karena berada di mancanegara. Apa susahnya Presiden minta Deplu memanggil Budi?

Sementara para penegak hukum, dari Polri, Kejaksaan agung sampai Kehakiman, cq tim polisi dan JaksaSinaga kurang membawa bahan bukti, Hakim Ketua Soeharto kurang cermat menimbang bahan bahan bukti dan kesaksian. Di lain pihak, sejumlah saksi kunci menarik pernyataan semula dalam BAP.

Last but least ke-41 kali hubungan telpon Pollycarpus dengan HP milik Muchdi Pr. - bahan bukti yang tidak terbantahkan - tidak pernah diselidiki tuntas dan tidak dibahas khusus dalam sidang perkara Muchdi Pr.



Di bawah ini ringkasan dari dua laporan pers:

Laporan-1



Aboeprijadi Santoso 21-08-2008 - Polly Dapat "Ikan Besar"untuk Muchdi

Sidang perdana terdakwa Mayjen Muchdi Pr telah merekonstruksi secara
rinci peran dan cara pembunuhan pejuang hak-hak asasi manusia Munir yang diracun pada 7 September 2004. Jaksa Sirus Sinaga mendakwa Muchdi merencanakan pembunuhan tersebut, dengan menyebutnya dalam rumusan berbahasa Belanda sebagai "uitlokken" (memancing), yang dalam Kitab Undang Undang Hukum Perkara atau KUHP diartikan sebagai 'menganjurkan'.

Inilah pertama kali Jaksa Penuntut Umum merincikan perjalanan pembunuhan Munir. Peran Munir membongkar penculikan aktivis pada tahun 1997-1998, menurut Jaksa, menyebabkan karir Mayjen Muchdi selaku Danjen Kopassus hanya berumur 52 hari.

Lebih jauh Jaksa Sinaga menjelaskan posisi baru Pollycarpus memungkinkan dia memanfaatkan penerbangan Garuda ke mana saja, meski pun sedang tidak bertugas sebagai pilot. Dikatakan pula, selaku anggota jejaring non organik BIN yang direkrut Mayjen Muchdi, Pollycarpus hanya tunduk pada jenderal tesebut. Muchdi dianggap menyalahgunakan wewenangnya dan dana BIN untuk tujuan tesrbut.

Muchdi Pr, demikian lanjut Jaksa Sinaga, kemudian meminta Polly membuat konsep surat kepada pimpinan Garuda agar dia ditempatkan di Corporate Security Unit, Unit Keamanan Perusahaan.

Bertugas menghabisi

Jaksa Sinaga: "Konsep surat tersebut dikoreksi oleh saksi Budi Santoso.
Sebelum dikoreksi , saksi Budi Santoso bertanya: ini untuk apa? Dijawab
oleh saksi Pollycarpus Budihari Priyanto: Pak, saya mau bergabung di
Corporate Security karena di Garuda banyak masalah. Setelah dijelaskan
oleh saksi Pollycarpus Budihari Priyanto, saksi Budi Santoso bersedia
mengoreksi surat tersebut karena mengetahui bahwa saksi Pollycarpus
Budihari Priyanto adalah jejaring terdakwa H. Muchdi Purwopranjono.
Sesudah surat tersebut dikoreksi kemudian diserahkan kepada saksi
Pollycarpus Budihari Priyanto untuk dibawa ke ruangan terdakwa H. Muchdi Purwopranjono dan beberapa hari kemudian saksi Pollycarpus Budihari Priyanto memberitahukan kepada saksi Budi Santoso, Pak saya mendapat tugas dari pak Muchdi Purwopranjono untuk menghabisi Munir"

Budi Santoso adalah salahsatu direktur BIN bawahan langsung terdakwa
Muchdi Pr. Saksi kunci ini sampai hari ini belum pernah hadir di sidang,
namun telah memberikan BAP lengkap. Budi Santoso dalam tanda kutip
"masih diamankan" sebagai pejabat KBRI di Islamabad, Pakistan. Sejak
mengantongi surat tugas tersebut mulailah Polly melaksanakan tugasnya

Jaksa Sinaga: "Dan kesempatan tersebut akan dimanfaatkan untuk
menghilangkan jiwa korban almarhum Munir SH. Maka saksi Pollycarpus
Budihari Priyanto mulai melakukan monitoring terhadap kegiatan korban
almarhum Munir SH"

Setelah menghadiri pesta perpisahan Munir yang digelar Imparsial di
Hotel Santika, kemudian menelpon istri Munir, Suciwati, Polly
membatalkan tugasnya ke Beijing 5-6 September agar dapat ikut pesawat GA 974 dengan Munir ke Singapura.

Proses peracunan

Jaksa Sinaga: "Korban almarhum Munir SH dan saksi Pollycarpus Budihari
Priyanto langsung menuju Coffeebean untuk mencari minum dan
bercakap-cakap. Kemudian korban almarhum Munir SH, duduk menunggu
minuman yang dibawa sendiri oleh saksi Pollycarpus Budihari Priyanto
dari counter sebanyak dua gelas dan satu gelas diserahkan kepada korban
almarhum Munir SH. Lalu isinya diminum sampai habis yang ternyata telah
dimasukkan racun arsen sebagaimana hasil pemeriksaan laboratorium
toksilogi"

Munir meninggal dunia 8-9 jam kemudian, sekitar pukul 4-5 pagi 7
September 2004.

Jaksa Sinaga: "Setelah tiba di Jakarta dari Singapura, saksi Pollycarpus

Budihari Priyanto menghubungi saksi Budi Santoso, ke handphone nomor
0812963335 dan mengatakan ia, dalam hal ini Pollycarpus Budihari
Priyanto, sudah kembali dari Singapura dan mendapatkan ikan besar di
Singapura. Maknanya adalah saksi Pollycarpus Budihari Priyanto telah
dapat membunuh korban almarhum Munir SH di Singapura, sebagai target
terdakwa H. Muchdi Purwopranjono sebelumnya. Kemudian saksi Budi Santoso menanyakan apakah kamu sudah melaporkan kepada pak H. Muchdi Purwopranjono? Kemudian saksi Pollycarpus Budihari Priyanto menjawab bahwa sudah dilaporkan kepada terdakwa H. Muchdi Purwopranjono"

Sidang perdana Muchdi Pr di luar dugaan tidak membahas alat bukti
percakapan telpon sebanyak 41 kali antara Muchdi dan Polly, namun dengan gamblang memperlihatkan pentingnya kesaksian Budi Santoso. Direktur LBH Jakarta, Asfinawati menganggap ini sebagai kemajuan besar

Asfinawati: "Sebetulnya ada seorang saksi lagi yang menjelaskan adanya
perintah untuk melakukan pembunuhan. Setahu saya mereka sangat
merahasiakan namanya untuk kepentingan perlindungan"

Radio Nederland Wereledomroep [RNW]: "Adakah sesuatu yang menurut Anda bisa menjadi terobosan untuk sidang berikut?"

Asfinawati: "Yang paling jelas ini kan keberanian jaksa yang
mengkonstruksi bahwa perbuatan Pollycarpus ada kaitannya dengan Muchdi.

Dan kaitannya itu berkaitan dengan tugas Muchdi sebagai seorang
intelijen. Walaupun memang tidak dijelaskan dalam dakwaan tadi apakah
ini inisiatif Muchdi atau inisiatif dia sebagai institusi. Kemajuan yang
besar itu sebetulnya mengkaitkan tindakan Pollycarpus dengan kegiatan
intelijen yang diwakili oleh sosok Muchdi yang saat ini menjadi
terdakwa. Walaupun tidak dijelaskan apakah Muchdi ini bertindak secara
individu atau secara organisasi. Persidangan pidana itu kan mengadili
orang bukan lembaga"

RNW: "Jadi kaitannya tak terbantahkan?"

Asfinawati: "Ya, betul.

Usman Hamid dari Kontras dan Choirul Annam dari HRWG mencatat Jaksa Sinaga tidak mendakwa Muchdi Pr sebagai penyuruh tindak pembunuhan, melainkan, dengan mengacu pada pasal 55 merumuskannya sebagai "uitlokken" yang dalam bahasa Belanda berarti memancing atau memprovokasi, namun di kalangan parktisi hukum di sini

diartikan sebagai mengannjurkan atau memberi fasilitasi.

Dengan kata lain, ini implikasinya ada dalang lain di balik Muchdi.
Polly menganggap Munir sebagai ikan besar, sekarang pengamat di Jakarta
diam-diam menyebut mantan bos BIN Hendroprijono-lah ikan besar-nya kasus Munir. Tetapi, kenyataannya, hingga kini, jangankan alat bukti, indikasi terhadap Hendroprijono pun nol alias nihil.



Laporan-2

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/KasusMunir/rapat_bin_bunuh_munir080624-redirected



ABOEPRIJADI SANTOSO - 24-06-2008

Rapat BIN yang Memutuskan



Wawancara Aboeprijadi Santoso dengan Soeripto

Pengamat intelejen yang juga anggota DPR Fraksi Partai Keadilan sejahtera, PKS, Soeripto, tidak menutup kemungkinan pembunuhan Munir dipakai untuk menggolkan salah satu Capres dalam Pilpres tahun 2004. Namun dalam tradisi intelejen sejak Orde Baru, Kepala Negara, sebagai "single user" atau pemakai tunggal intelejen negara, tidak dilapori oleh lembaga intelejennya.

BIN_logo+munirjpg.jpgSeolah membantah pernyataan Kapolri Jenderal Soetanto bahwa kasus Munir tidak menyangkut institusi Badan Intelejen Negara, BIN, Soeripto menunjuk, pembunuhan Munir diputuskan dalam rapat lima petinggi BIN yang dipimpin Kepala BIN Jenderal A.M. Hendropriyono.

Perencanaannya di tangan Deputy II Manunggal Maladi, dan pelaksanaannya pada Deputy V Muchdi Purwoprandjono. Meski mengaku sumber informasinya "seorang profesional di bidang intelejen yang layak dipercaya", namun Soeripto menekankan perlu verifikasi dan pendalaman informasi tsb. Berikut wawancara dengan Soeripto.

Soeripto: Pertama keterangan-keterangan dari mas media itu bukan data. Bukan berdasarkan dokumen. Tapi adalah informasi. Informasi yang saya terima yang kategorinya adalah C3. Artinya perlu check dan re-check, perlu cross-check dan diterima dari seseorang yang menurut saya cukup dan layak dipercaya sumbernya. Informasinya itu biasanya layak dipercaya.

Radio Nederland Wereldmroep [RNW]: Jadi ini mengenai rapat lima petinggi BIN ya, jadi pak Hendro Priyono, pak Muchdi, Manunggal Maladi, kemudian Nurhadi Djazuli yang duta besar di Kenya itu, dan satu lagi pak Asad?

Soeripto: Andaikata toh mau di cross-check bisa juga melalui pak Nurhadi, sebagai notulisnya. Tapi sebetulnya dari keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Ucok.

RNW: Ucok ini seorang pegawai BIN juga ya, yang sudah diperiksa dalam kasus Munir?

Soeripto: Ya, atau melalui Budi Santoso.

RNW: Yang di Pakistan kan?

Rencana pembunuhan
Soeripto: Ya, di Pakistan. Keterangan-keterangan itu memperkuat bahwa ada perencanaan yang dikoordinir tentu oleh Deputi II. Bidang tugasnya adalah perencanaan Manunggal Maladin. Sedangkan Muchdi itu Deputi IV. Itu yang bertanggungjawab dalam rangka eksekusi. Di dalam melaksanakan hasil keputusan rapat.

Disampaikan bahwa pembunuhan Munir itu adalah satu rencana dan rencana itu kemudian dirapatkan di dalam satu rapat yang diselenggarakan di BIN di Kalibata. Disebutkan nama-nama orang yang ikut di dalam rapat itu.

RNW: Lima pejabat tadi ya?

Soeripto: Kemudian disebutkan peran masing-masing, perencanaan dan eksekusi kan. Perencanaan Manunggal Maladi.

RNW: Bosnya, pak Hendropriyono sebagai apa?

Soeripto: Ya, ketua lah.

RNW: Ketua rapat saja? Hanya memimpin rapat?

Soeripto: Ya, kan rapat musti ambil keputusan.

RNW: Lalu sumber tadi mengatakan pelaksanaan diserahkan pada Muchdi ya, Deputi IV. Nurhadi notulisnya, Asad

Membantah
Soeripto: Sudah membantah dan dia katakan berani sumpah saya nggak hadir di dalam rapat.

RNW: Rapat itu kapan terjadinya?

Soeripto: Agustus mungkin.

RNW: Awal?

Soeripto: Ya, saya nggak tau persis ya, karena nggak disebutkan.

RNW: Agendanya kasus Munir saja?

Soeripto: Yang dibicarakan soal itu saja.

RNW: Tapi juga disebut-sebutkan bahwa dia termasuk kategori G yang mengganggu jadi tidak perlu dibunuh. Rapat itu perencanaan atau apa?

Soeripto: Rapat evaluasi. Evaluasi dari kawan yang memberikan informasi saya. Bahwa sebetulnya tidak masuk kategori ancaman.

RNW: Ketika itu kampanye yang dilakukan banyak ramai waktu itu. Ini kan zaman pilpres ialah anti militarisme. Banyak sekali anti militerisme. Artinya apa ini? Waktu itu calonnya adalah Megawati dan SBY akhirnya?

Isu politik
Soeripto: Ya, namanya juga kalau isu politik tergantung pada agenda masing-masing partai. Dalam rangka menggolkan calon-calonnya.

RNW: Capresnya tinggal dua, Megawati dan SBY. SBY yang militer. Artinya ini seperti kampanye anti SBY ya?

Soeripto: Ya, kelompok yang ingin memenangkan calonnya mencari isu-isu yang paling bisa menjatuhkan lawan politiknya.

RNW: Kasus Munir bisa dipakai untuk itu? Kita bicara 2004 nih?

Soeripto: Ya, 2004 belum.

RNW: Bukan pembunuhan Munir itu kan mengguncang?

Soeripto: Betul.

RNW: Makanya ketika itu calon presiden SBY dari militer dan ketika itu Munir dibunuh, guncang, ramai di luar negeri dan di dalam negeri dan yang disudutkan adalah militer?

Soeripto: Ya, itu saya kira dari lawan-lawan politik, sudah pasti itu akan digunakan.

RNW: Berarti lawan SBY menggunakan ini?

Megawati
Soeripto: Ya, saya kira begitu.

RNW: PDIP Megawati itu?

Soeripto: Ya, saya kira.

RNW: Jadi kemungkinan PDIP Megawati mengetahui kasus ini dong?

Soeripto: Belum tentu itu dilaporkan. Artinya Megawati sebagai presiden, itu belum tentu bahwa hal ini dilaporkan.

RNW: Jadi menurut Anda, layak Megawati sebagai mantan presiden memberikan keterangan kan?

Soeripto: Ya, menurut saya untuk memperjelas persoalan, saya kira lebih baik memang presiden menjelaskan bahwa tidak pernah ada pengarahan dan tidak pernah dilaporkan.

RNW: Ada anggota Kopassus juga yang memberikan konfirmasi pada pernyataan Anda, bahwa ada perencanaan, bahwa ini ada rapat tentang itu. Dia tahu itu lama sebelum pembunuhan Munir terjadi?

Soeripto: Saya nggak tahu.

SUMBER: POLITIKANA.COM
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger