MEMASUKI pekan kedua kampanye, kesibukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) makin meningkat. Beragam laporan soal kecurangan pemilu setiap hari masuk ke kantor mereka di bekas gedung Perserikatan Bangsa Bangsa yang berlokasi di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Sampai Februari lalu, Bawaslu menemukan 118 calon legislator diduga telah melakukan pelanggaran tindak pidana pemilu. Adapun pelanggaran administrasi, sebanyak 1.359 kasus. Angka itu tampaknya akan bertambah terus hingga ke ujung pemilu nanti. ”Jika terbukti bersalah, akan dipidana kurungan dan denda,” kata Wirdyaningsih, anggota Bawaslu.
Persoalan paling krusial yang belakangan mengguncang dunia politik Republik adalah tuduhan kecurangan di balik Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Pada 7 Maret 2009 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan jumlah pemilih tetap, yakni sebanyak 171.265.442 orang. Angka ini sudah termasuk hasil revisi daftar pemilih yang diterbitkan 24 November 2008. “Ada penambahan 196.775 orang,” kata Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary.
Masalahnya, di sejumlah daerah terus ditemukan berbagai kejanggalan DPT. Salah satunya adalah temuan Panitia Pengawas Pemilu di Jombang, Jawa Timur. Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jombang M. Fatoni mengatakan di Kecamatan Diwek mereka menemukan ada 479 pemilih bermasalah yang masuk dalam DPT.
“Bahkan, 269 orang telah meninggal dunia,” kata Fatoni. Itu belum termasuk persoalan menyangkut data ganda, pemilih di bawah umur, nama tentara dan polisi, maupun orang yang sudah pindah tapi masih terdaftar.
Tak cuma panitia pengawas, PDI Perjuangan juga mengungkap temuannya. Mereka mensinyalir ada manipulasi sistemik terhadap DPT di Jawa Timur. Di antaranya adalah kasus penggandaan nomor induk kependudukan (NIK). Sekretaris Jenderal PDIP, Pramono Anung, mengatakan aksi itu terjadi di Bangkalan dan Sampang, Madura.
Salah satu contoh, masih kata Pramono, didapati pemilih dengan sejumlah nama, tempat tanggal lahir dan alamat yang sama. “Hanya diubah nomor urutnya saja atau muncul berulang kali di beberapa TPS,” katanya, “Ada juga NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang angkanya ditambahi huruf atau tanda baca.”
Selain itu ada kasus di mana NIK pemilih kurang dari 16 digit sebagaimana semestinya. Juga ditemukan banyak pemilih dengan usia belum 17 tahun, bahkan tanpa data pelengkap sama sekali. “Tidak ada NIK, tempat tanggal lahir, umur, status perkawinan dan alamat pemilih,” kata Pramono.
Mirip dengan tuduhan PDIP, Partai Kebangkitan Nasional Ulama juga pernah merilis temuan mereka tentang adanya 225.848 NIK yang sama di Jawa Timur.
Partai Persatuan Pembangunan juga menemukan kasus yang hampir mirip. "Penggelembungan daftar pemilih tetap," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum PPP, Emron Pangkapi.
Selain di Jawa Timur, Emron mengatakan, PPP sudah memeriksa memeriksa DPT di seluruh Indonesia. "Hampir semua daftar di beberapa kabupaten terjadi penggelembungan," katanya. Ia menyebut di Aceh Tenggara dan Lampung. Di Jawa Timur malah dia bilang hampir merata di semua kabupaten.
Partai Golkar menyatakan mendapati sejumlah kasus berbeda. Modusnya, kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rully Chairul Azwar, adalah dengan mengakali kertas suara. Caranya begini. DPT yang tak valid akan menyebabkan adanya kertas suara berlebih. Kertas suara restan itulah yang nanti akan dapat dicontreng oleh panitia pemilu atas pesanan calon legislator tertentu, tentu dengan imbalan rupiah. "Ini praktek jual beli," kata Rully.
Akal-akalan kedua, masih kata Rully, ada calon legislator yang memang sengaja menjual suaranya dengan “ikhlas”. "Modusnya, si caleg A bekerja sama dengan oknum KPU Daerah agar suara yang dia dapat diberikan ke Caleg X."
Rully mengatakan memperoleh informasi ini dari calon Golkar di Bengkulu. "Dia bilang bisa membeli suara dari caleg-caleg tertentu yang menjual suaranya melalui oknum KPU Kecamatan." Menurut Rully modus ini bukan dirancang partai, tapi oleh calon legislator.
Akan tetapi, menurut Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mohammad Razikun, berbagai kecurangan ini tak lepas dari pelacuran kekuasaan di daerah. "Semua partai yang punya kekuasaan di suatu kabupaten punya potensi melakukan kecurangan," katanya. "Tidak hanya dalam soal manipulasi DPT, tapi juga dalam rekapitulasi perolehan suara”.
Tak sekadar menjadi perdebatan di media, kasus kecurangan pemilu telah bergulir ke pengadilan. Karena tuduhan berbagai ketidakberesan DPT ini, KPU telah digugat ke pengadilan. Adalah Arief Puyono, seorang warga Jakarta, yang melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 25 Maret 2009 lalu.
Dalam gugatannya, Arief menyebut beberapa contoh kasus. Di Kelurahan Tonatan, Ponorogo, Jawa Timur, menurutnya ada 544 pemilih yang tercatat dengan alamat yang sama di TPS-12. Padahal, dalam DPT disebutkan di kelurahan itu hanya ada 11 TPS.
Di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, ia menyebut adanya penambahan pemilih sebanyak 40 ribu orang. Di Cimanggis, Depok, menurutnya ada tentara aktir yang terdaftar sebagai pemilih. Adapun di Wonosobo, Jawa Tengah, muncul 100 nama pemilih dengan nomor induk kependudukan yang sama.
Berdasarkan itu Arief menilai KPU telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan memohon majelis hakim untuk memerintahkan KPU memperbaiki DPT di seluruh Indonesia.
Demi adilnya, kisruh DPT ini tak semestinya dibebankan ke pundak KPU semata. Sebab, kata anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widada, DPT disusun bersumberkan pada Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu 2009 dari Departemen Dalam Negeri dan Departemen Luar Negeri—terkhusus untuk pemilih di luar negeri.
Sebelum disahkan, KPU sudah mempublikasikan DPT dan ketika itu tak ada partai politik yang protes. “Ke mana saja mereka waktu itu?” Bambang mempertanyakan.
Karena itu Eka tak heran jika ada DPT yang tidak akurat. Menurutnya ini bukan karena ada manipulasi. Dia beralasan jika harus menunggu data akurat seratus persen dulu, prosesnya tak mungkin selesai dalam setahun.
Menurut Eka, potensi kecurangan bisa diminimalkan dengan adanya saksi yang kompeten. Pada pemilu 2009 ini ada 38 partai nasional yang bertarung, plus enam partai lokal di Aceh. Dia berasumsi, dengan adanya banyak partai, jumlah saksi akan meningkat, dan pangawasan akan semakin ketat di banding Pemilu 2004 yang “cuma” diikuti 24 partai.
Anggota KPU Andi Nurpati Baharudin tak seoptimistis itu. Ia mengakui peluang kecurangan tetap terbuka. Menurutnya, data pemilih memang berpotensi digelembungkan, namun “sampai saat KPU belum menemukan ada manipulasi DPT.”
KPU meminta partai yang mensinyalir adanya manipulasi DPT untuk memberikan bukti. Sebagai langkah pencegahan, KPU juga sudah mengumpulkan komisioner dari seluruh Indonesia untuk melakukan pengecekan ulang. “Jika ada yang fiktif atau dobel, kami minta untuk dicoret," kata Nurpati.
Namun, koreksi itu rupanya hanya sebatas di level administrasi saja, tidak berupa pengecekan di lapangan. “Kalau turun ke lapangan lagi, tidak ada anggarannya," kata Nurpati.
Anggaran rupanya masih saja jadi soal buat KPU yang telah berbujet Rp 13,5 triliun ini. Tapi pemilu yang adil dan bersih jelas terlalu mahal untuk dikorbankan.
Home »
» Baku Tuding Pemilu Curang
Baku Tuding Pemilu Curang
Written By REDAKTUR on 28 March 2009 | 2:46 AM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment