Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) sepakat menaikkan suku bunga acuan menjadi 8,75% atau naik 25 basis poin. Tak ada jaminan BI Rate bertahan di angka itu. Bisa jadi, nantinya naik lagi.
Tekanan inflasi 2008, terutama bersumber dari kenaikan harga BBM dan peningkatan harga bahan pangan akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, merupakan faktor utama kenaikan BI Rate.
Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, pelaku usaha masih khawatir BI Rate yang kini 8,75% akan memaksa perbankan mengubah skenario kenaikan suku bunga kredit menjadi lebih besar dari skenario sebelumnya.
Kecenderungan ini tidak menguntungkan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan sektor riil. Sebab, sudah pasti biaya modal akan lebih mahal. Apalagi perbankan menskenariokan kenaikan suku bunga kredit mencapai 0,5-1,5%. “Kenaikan BI Rate ini bukan solusi bagi sektor UKM dan sektor riil,” katanya.
Menurutnya, BI akan terus menaikkan BI rate jika laju inflasi sulit dikendalikan. Namun, jika BI mengandalkan instrumen BI Rate untuk meredam inflasi, maka hal itu akan menambah beban bagi UKM dan sektor riil.
Apalagi harga BBM industri terus naik mengikuti kenaikan harga di pasar global. Dua faktor ini menyebabkan biaya produksi UKM dan sektor riil membengkak. “Kekhawatiran anjloknya daya saing produk UKM dan sektor riil makin besar. Sebaiknya pemerintah dan otoritas moneter bisa mencari solusi untuk pertumbuhan kedua sektor itu,” paparnya.
Meski demikian Bambang mengaku dapat memahami kenaikan BI Rate yang dinilainya sebagai respon otoritas moneter terhadap laju inflasi Juni 2008 sebesar 2,46%. “Dari sisi moneter, keputusan RDG BI itu relevan,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi Tony A Prasetiantono yang mengkhawatirkan kenaikan suku bunga acuan tersebut akan menimbulkan sejumlah dampak negatif. Salah satunya adalah kurang membantu industri perbankan yang sedang berusaha melakukan ekspansi kredit.
Namun, Vice President Senior Economist Bank BNI, Ryan Kiryanto menepis anggapan itu. Menurutnya, kenaikan BI Rate tidak harus diikuti perbankan dengan menaikkan suku bunga (terutama kredit) untuk menjaga kualitas kredit tetap baik (performing loan).
Perbankan juga harus tetap mendorong permintaan kredit baru maupun tambahan kredit untuk menggerakkan sektor riil. "Dengan efisiensi yang sungguh-sungguh, bank masih enjoy dengan BI rate 8,75 %," tambahnya.
Menurutnya, sektor perbankan dan sektor riil tetap merespon kebijakan Dewan Gubernur BI tersebut secara positif. "Tidak mengejutkan jika BI menaikkan BI Rate hanya 25 basis poin karena perbankan dan sektor riil tetap akan merespon positif," paparnya.
Meskipun demikian, menurut Ryan, walaupun BI rate naik 25 basis poin, hal ini masih cukup rawan bagi nilai tukar rupiah. "Yang penting kenaikan BI Rate bertahap 25 basis poin dilakukan dengan jarak yang terukur dan hati-hati agar tidak mengejutkan pasar. Karena BI tidak hanya fokus pada pengendalian inflasi, namun juga pengendalian kurs rupiah terhadap dolar AS," jelasnya.
Sementara, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Azis mengingatkan, BI jangan mau dikendalikan pasar. "BI jangan sampai dicap tidak pro pertumbuhan investasi jika terus menaikkan suku bunga," katanya. Ia berharap, BI bisa mempertahankan suku bunga acuan pada level maksimal 9% hingga akhir tahun agar tidak menjadi disinsentif bagi ekonomi.
Ia menyerankan, agar BI tidak ragu-ragu dalam menggunakan instrumen moneter lainnya untuk menjaga kelebihan likuiditas pada perbankan, yaitu giro wajib minimum. Sehingga tidak ada peluang inflasi dari meningkatnya permintaan akibat kelebihan likuiditas.
Di sisi lain, Direktur PT Catur Sentosa Adiprana Tbk Idrus H Widjajakusuma mengatakan, pertumbuhan ekonomi nasional masih cukup bagus selama suku bunga acuan masih berada di bawah angka 10%. Sehingga kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
"Kami optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berjalan dengan baik karena BI Rate masih di bawah angka 10% yang saat ini mencapai 8,75%," katanya. Idrus mengatakan, Indonesia harus bisa melakukan diversifikasi usaha dengan meningkatkan produksi komoditas ke pasar ekspor yang saat ini harganya terus menguat.
“Ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 6%. Sejumlah investor asing baik dalam jangka pendek maupun panjang juga sudah masuk ke pasar domestik,” ujarnya. Sementara nilai tukar rupiah cenderung stabil di level 9.200 juga sebuah indikator bahwa ekonomi Indonesia masih baik.
Home »
» BI Rate Naik, Perbankan Warning
BI Rate Naik, Perbankan Warning
Written By REDAKTUR on 03 July 2008 | 8:02 PM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment