Random Post

.
Home » » Wajah Baru, Pola Lama

Wajah Baru, Pola Lama

Written By REDAKTUR on 16 May 2008 | 9:01 AM

Satu dekade reformasi ekonomi di bawah bimbingan IMF, ternyata ekonomi rakyat melemah ditengah kiprah para pengusaha Indonesia yang justru maju cepat. Seakan ekonomi rakyat tak beranjak di tengah dunia usaha para konglomerat yang maju pesat.

Bisnis besar konglomerat tetap mendominasi ekonomi Indonesia. Yang bergeser hanya urutan-urutan jumlah aset dan kekayaan mereka. Dulu Grup Salim selalu menjadi kampiun, diikuti Eka Tjipta Widjaja. Tapi di era baru, Putera Sampoerna dan keluarga Hartono serta Sukanto bergantian memimpin.

Di luar itu ada juga sebuah kejutan besar. Tahun lalau majalah Forbes menobatkan Abu Rizal Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia. Padahal di zaman Orde Baru, Aburizal belum masuk daftar pengusaha di papan atas.

Hal lain yang juga berubah adalah struktur usaha konglomerat. Dulu mereka memiliki rentang usaha yang lebar, secara vertikal bahkan menguasai hulu sampai hilir. Grup Salim misalnya, menjamah hampir seluruh sektor kehidupan: makanan, otomotif, semen, properti, petrokimia, perbankan, hingga televisi.

Pola lama itu masih dipertahankan sebagian konglomerat. Sinar Mas umpamanya, masih bermain di bidang yang luas: properti, kertas, minyak sawit dan minyak goreng, keuangan, hingga telekomunikasi. Sedangkan Bakrie menggeluti bisnis pipa, batu bara, minyak dan gas, properti, telekomunikasi, dan media.

Tapi sebagian menerapkan pola baru, yaitu berkonsentrasi pada sektor tertentu. Grup Salim bisa jadi contoh. Kendati masih menguasai saham perbankan, otomotif, dan semen, ia tetap berkonsentrasi pada bisnis industri makanan serta perkebunan. Ekspansi usaha mereka dijalankan dalam lingkup itu. Kelompok usaha Sampoerna dan Astra International juga masuk pasar dengan pola baru ini.

Para penantang juga memilih konsentrasi. Trihatma, misalnya, berfokus pada bisnis properti. Medco konsisten memilih energi. Hary Tanoesoedibyo berkonsentrasi pada bisnis media dan telekomunikasi. Mereka agaknya belajar dari masa lalu.

Dengan pola usaha baru pun skala usaha mereka tak bisa dibilang kecil. Bimantara, yang kini berganti nama menjadi Global Mediacom, merambah banyak sektor dan memiliki 120 anak perusahaan. Asetnya tak lebih dari Rp 4 triliun. Setelah memilih fokus, nilai asetnya malah empat kali lipat.

Ada ‘inovasi’ baru sebenarnya yang mungkin meniru gaya bisnis negara kapitalis. Pengusaha muda seperti Sandiago Uno atau Patrick Waluyo getol memburu perusahaan yang tengah didera kesulitan. Mereka memanfaatkan dana berlimpah dari luar negeri. Setelah poles sana-sini, perusahaan itu mereka jual lagi dengan harga yang lebih tinggi.

Dua pengusaha senior Putera Sampoerna dan Peter Sondakh (Rajawali) mencari jalan lain. Bisnis inti dijual untuk diinvestasikan di bidang yang lebih menjanjikan. Sampoerna menjual HM Sampoerna, dan Peter melepas Excelcomindo.

Dengan begitu, keduanya memiliki dana tunai yang sangat besar untuk mencaplok banyak usaha. Sampoerna membeli perusahan kayu terbesar kedua di dunia, Samko Timber, sedangkan Peter membeli saham pabrik semen terbesar Indonesia, Semen Gresik.

Memang tidak semuanya menggelinding lancar. Ada banyak nama yang hilang dari peredaran. Marimutu Sanivasan, pemilik Texmaco Group yang pekan lalu menyerahkan diri, habis digulung utang Rp 29 triliun.

Djayanti Group, yang pernah menjadi raksasa kayu, tak mampu bertahan gara-gara utangnya ke Bank Mandiri Rp 1 triliun macet, ditambah utang pajak hampir Rp 400 miliar.

Tentu masih banyak contoh yang lain. Namun sejarah terus bergerak, dan dunia usaha seakan bergegas, tak lagi merangkak.
Share this article :

0 komentar:

.

.
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PROPUBLIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger