Ditulis oleh : Amich Alhumami, Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom
Proses prapemilihan presiden di Amerika Serikat (AS) menunjukkan perkembangan menarik dengan penampilan Barack Obama yang semakin menawan. Semula kemunculan Obama sebagai kandidat presiden dianggap sekadar uji coba belaka karena ia dipandang masih 'terlalu muda, belum berpengalaman, dan dalam bayang-bayang sentimen rasial lantaran keturunan Afro-Amerika.'
Namun sekarang semua telah berbalik, jalan Obama menuju Gedung Putih tidak terbendung lagi bahkan terlihat semakin mulus. Dengan penuh keyakinan dan kata-kata yang membius, dalam suatu kesempatan berpidato menyambut kemenangan telak di kontes potomac primaries (Maryland-Virginia-Washington DC), Obama berujar, "Sesuatu yang bermula dari sekadar bisikan lembut, kini telah berubah menjadi sebuah paduan irama sangat kuat yang kemudian menjelma menjadi gelombang besar yang tidak terbendung. Langkah kita tidak akan terhenti, kecuali kita benar-benar sudah sampai di DC."
Bahkan sesumbar Hillary bahwa ia mampu mengubur mimpi Obama menjadi presiden keturunan Afro-Amerika pertama negeri adidaya itu dalam pertarungan Super Tuesday awal Februari silam sama sekali tidak terwujud. Alih-alih memukul Obama dalam pertarungan kandidat, Hillary justru menderita kekalahan beruntun. Obama yang oleh publik Amerika dipersepsikan sebagai politisi muda cemerlang berbakat, penuh inspirasi, dan berkarisma sekarang sedang menaiki gelombang tinggi untuk mencapai impian berkantor di Gedung Putih.
Gelombang kemenangan Obama pascapertarungan Super Tuesday telah mengubah sikap dan perilaku pemilih. Bahkan struktur demografi dan gender yang menjadi basis dukungan Hillary pun runtuh tersapu oleh gelombang kemenangan Obama. Sebelum Super Tuesday, kelompok penduduk kulit putih dan kaum perempuan terutama yang berusia lanjut lebih banyak memilih Hillary. Namun Obama kini justru mampu mencuri simpati dari pemilih kelompok kulit putih dan kaum perempuan sehingga memperoleh dukungan signifikan dari mereka.
Serangkaian kemenangan Obama membuat sang mantan ibu negara sempat mengalami frustrasi sehingga harus melakukan serangan kasar kepada senator Illinois itu dalam setiap kali kampanye. Serangan bahkan bernuansa rasial seperti yang dilakukan Bill Clinton. Tim kampanye Hillary bahkan memublikasikan foto Obama berpakaian tradisional Kenya yang berasosiasi dengan Islam. Di mana-mana isu agama memang sangat sensitif dalam kompetisi politik, tidak terkecuali di AS. Untuk melemahkan posisi bahkan bila mungkin membendung laju Obama, serentetan isu dihembuskan bahwa ia seorang muslim dan anti-Yahudi. Hal itu merujuk pada Louis Farrakhan, pemimpin The Nation of Islam yang dikenal luas sangat anti-Yahudi, yang memberikan dukungan penuh pada Obama. Beruntung, untuk beberapa saat, rasa frustrasi Hillary sempat terobati setelah ia memenangi prapemilihan di Ohio, Texas, dan Rhode Island. Meskipun demikian, kemenangan Hillary tidak mampu melampaui Obama dalam pengumpulan delegasi, bahkan dalam prapemilihan terakhir di Mississippi, Obama secara telak menundukkan Hillary dengan persentase 62% lawan 37%. Dengan kemenangan itu, Obama semakin memperlebar jarak dengan Hillary dalam perolehan delegasi, masing-masing 1.622 orang, yang terdiri atas 1.413 pledged dan 209 superdelegates serta 1.485 orang, yang terdiri atas 1.242 pledged dan 243 superdelegates (CNN online, 22/03/08). Selain itu, secara nasional Obama memperoleh dukungan popular vote lebih besar dan memenangi wilayah kontes prapemilihan lebih banyak pula, yakni 26 lawan 16.
Kedua calon kandidat presiden dari Partai Demokrat sekarang ini sedang berupaya mengerahkan segenap kekuatan, untuk menyongsong prapemilihan di Pennsylvania—
satu dari 10 wilayah kontes yang masih tersisa--yang dijawalkan berlangsung 22 April mendatang. Dengan jumlah delegasi sebanyak 158 orang, Pennsylvania akan menjadi arena perang paling menentukan bagi Obama dan Hillary. Karakteristik wilayah dan struktur demografi Pennsylvania kurang lebih serupa dengan Ohio, yakni mayoritas pemilih Demokrat merupakan kelas pekerja perkotaan dan dominasi penduduk perempuan berusia lanjut.
Menurut rekaman hasil prapemilihan terdahulu, pemilih Demokrat yang berlatar belakang demikian cenderung lebih condong ke Hillary. Namun hal itu bukan berarti Obama akan kehilangan dukungan sama sekali sebab momentum kemenangan masih berada di pihaknya. Obama tentu akan konsentrasi menggalang dukungan dari kalangan terpelajar, kelompok independen, dan penduduk berusia muda yang juga sangat potensial di Pennsylvania.
Selain itu, dukungan publik secara nasional dari waktu ke waktu makin kuat bergeser ke arah Obama. Gubernur New Mexico Bill Richardson, keturunan hispanik--kelompok mayoritas di kalangan kaum minoritas AS--adalah seorang tokoh sangat berpengaruh dan disegani di lingkungan komunitas Latios, yang secara terbuka mendukung Obama. Sikap Richardson ini jelas akan mengubah konstelasi dan peta dukungan dari kalangan warga hispanik, yang selama ini diberikan ke Hillary seperti pada prapemilihan di California dan Texas. Sebagai anggota superdelegates, Richardson bahkan menyeru kepada pemilih Demokrat dan anggota superdelegates yang belum menentukan pilihan untuk segera mendukung dan memilih Obama. Seruan itu dilandasi keyakinan bahwa Obamalah figur yang mampu menyatukan bangsa dan memulihkan citra Amerika di mata masyarakat internasional, akibat kesalahan fatal pemerintahan George Bush yang secara absurd telah mengobarkan perang dan menginvasi Irak. Bill Richardson yang pernah menjabat menteri energi pada masa pemerintahan Bill Clinton itu melukiskan Obama sebagai sosok once-in-a-lifetime leader who can unite the nation and restore America's international leadership (BBC online, 21/03/08).
Sebelum Bill Richardson, pejuang hak-hak sipil dan anggota kongres wakil negara bagian Georgia, John Lewis, yang semula juga pendukung fanatik Hillary, sekarang berubah mendukung Obama. Demikian pula senator Demokrat wakil negara bagian Connecticut, Christopher Dodd, mendukung Obama setelah ia mundur dari pertarungan kandidasi.
Perubahan itu lantaran keduanya menangkap dengan sangat jelas aspirasi konstituen yang lebih menghendaki Obama menjadi presiden. Secara umum, pergeseran dukungan politik ke Obama ini karena ia dipandang sebagai figur yang mewakili cita-cita dan aspirasi persatuan nasional, simbol integrasi bangsa, dan representasi pluralitas Amerika sebagai sebuah bangsa dengan diversitas budaya, keragaman etnik dan ras yang demikian tinggi. Publik Amerika meyakini figur Obama merefleksikan kredo politik sekaligus simbol the American melting pot, yang selalu dikumandangkan kepada masyarakat dunia.
Istilah American melting pot resmi digunakan pada awal 1900-an untuk melukiskan kemajemukan Amerika, tepatnya 1908 setelah pementasan teater yang sangat bersejarah berjudul The Melting Pot karya Israel Zangwill, seorang imigran keturunan Yahudi-Rusia. The Melting Pot adalah sebuah metafora yang menggambarkan bagaimana suatu masyarakat yang semula bersifat homogen, tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat heterogen dan majemuk, yang dihuni berbagai kelompok manusia dengan latar belakang budaya, agama, etnis, ras, dan kebangsaan yang berbeda. Kelompok-kelompok tersebut berinteraksi, melakukan akulturasi dan asimilasi serta membangun struktur masyarakat baru berbasis--menggunakan istilah sekarang--multikulturalisme. Karya The Melting Pot diilhami gelombang imigrasi massal ke AS pada awal 1900-an. Arus manusia yang beraneka kebangsaan dan kebudayaan, utamanya dari benua Eropa (Jerman, Prancis, Inggris, Spanyol, Italia, Irlandia, dan Skotlandia) berbondong-bondong menuju tanah baru yang menjanjikan harapan dengan slogan yang sangat memikat the American dream.
Dalam konteks demikian, penampilan Obama dalam panggung politik nasional sejalan dengan imajinasi rakyat Amerika, untuk membangun sebuah bangsa majemuk berlandaskan nilai-nilai multikulturalisme. Jika Obama menang dalam nominasi kandidat presiden dan berhasil mencapai Gedung Putih, politisi cerdas belia ini sejatinya merefleksikan kebanggaan bangsa Amerika sebagai the melting pot of the world .
Home »
» Obama, Simbol American Melting Pot
Obama, Simbol American Melting Pot
Written By REDAKTUR on 31 March 2008 | 9:06 PM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Post a Comment