
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akan menjadi satu-satunya peradilan yang memilikinya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum pada kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Romli Atmasasmita, Ketua Tim Penyusun RUU Pengadilan Tipikor, mengungkapkan kewenangan Pengadilan Tipikor dalam acara ”Pers/Public Expose RUU Pengadilan Tipikor” di Pusat Informasi dan Komunikasi (PIK) Depkumham, Jakarta (19/12).
Menurut Romli, terhitung sejak nanti diberlakukannya UU ini, tidak ada lagi kasus korupsi yang diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh pengadilan negeri. ”Seluruhnya (tindak pidana korupsi) oleh pengadilan Tipikor,” ujar Romli, Guru Besar Universitas Pajajaran yang pernah menjabat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasonal (BPHN).
Pengadilan Tipikor akan dibentuk di setiap ibukota kabupaten/kota yang dilaksanakan secara bertahap. Namun untuk pertama kali, berdasarkan UU ini pembentukan Pengadilan Tipikor dilakukan pada setiap ibukota provinsi. ”Dalam RUU disebutkan nantinya Ketua dan Wakil ketua pengadilan negeri menjadi Ketua dan Wakil ketua Pengadilan Tipikor,” ujar Romli.
Hal penting lainnya, menurut Romli, adalah hakim Pengadilan Tipikor terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc. Hakim karier ditetapkan berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) dan sudah diberi pelatihan, sedangkan untuk hakim ad hoc akan dipilih oleh panitia seleksi yang dibentuk MA dan terdiri atas unsur MA dan masyarakat.
Mengenai kompsosi Mejelis Hakim Tipikor, dalam RUU Tipikor disebutkan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang dengan komposisi satu orang hakim karier dan dua orang hakim ad hoc. Sementara altenarnatif kedua majelis hakim terdiri atas dua orang hakim karier dan satu orang hakim ad hoc atau pilihan lainnya tetap sekurang-kurangnya tiga orang, namun komposisinya ditentukan oleh hakim ketua Tipikor.
Kasus korupsi adalah kasus yang luar biasa dan banyak aspek yang terkandung dalamnya. Misalnya, pertanahan, aspek-aspek teknis, aspek perbankan, dan sebagainya. Karena itu, Romli berpendapat, sangat diperlukan hakim ad hoc yang memiliki keahlian dan spesialisasi. ”Kita sangat memerlukan hakim ad hoc yang memiliki spesialisasi latar belakang seperti itu. Nantinya hakim ad hoc adalah adalah hakim-hakim yang terpilih berdasarkan keahlian profesinya,” jelas Romli.
Hal baru dalam RUU Tipikor ini adalah adanya pemeriksaan pendahuluan sebelum sidang pokok. Jika dalam pemeriksaan ini hakim berpendapat kelengkapan dan materi surat dakwaan belum lengkap, surat dakwaan dikembalikan kepada penuntut umum untuk diperbaiki. ”Setelah diperbaiki dalam waktu tujuh hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima harus dilimpahkan ke pengadilan Tipikor.”
Pemeriksaan pendahuluan berlangsung dan dilakukan dalam sidang terbuka untuk mencegah adanya lempar tanggung jawab antara hakim dan jaksa. ”Dengan persidangan terbuka, publik bisa tahu mana yang benar dan tidak benar,” kata Romli.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah dalam pengadilan Tipikor, setiap orang berhak memperoleh informasi. Pengadilan Tipikor menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik mengenai penyelenggaraan pengadilan Tipikor.
Tenggat waktu pemeriksaan, pengadilan, dan pemutusan perkara Tipikor juga ditentukan dalam RUU ini. Untuk tingkat pertama diselesaikan dalam waktu paling lama 150 hari, tingkat banding 90 hari, kasasi 150 hari dan peninjauan kembali diperiksa dan diputuskan paling lama 60 hari.
Romli mengemukakan bahwa kerja tim sudah selesai, tinggal dipaparkan di depan Menteri hukum dan HAM). ”Mudah-mudahan pada Januari 2008 pemerintah bisa menyerahkan ke DPR untuk dibahas,” jelas Romli.***
0 komentar:
Post a Comment